DEPARTEMEN Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Indonesia, menyatakan keprihatinan mendalam terhadap draft revisi UU Penyiaran yang disusun oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR tertanggal 19 Juni 2017.
Sebelum ini, kami telah mempelajari draft Revisi UU Penyiaran yang disusun Komisi I DPR.  Kendatipun draft versi Komisi I DPR tetap mengandung muatan yang perlu dibicarakan secara lebih mendalam, kami menganggap draft versi Baleg ini berisi lebih banyak lagi kelemahan bila ditinjau dari kebutuhan Indonesia untuk memiliki dunia penyiaran yang membawa kemaslahatan sebesar-besarnya bagi publik.
Dapat dikatakan, draft versi Baleg ini mengandung muatan yang berpihak pada kepentingan pemodal besar tertentu dalam industri penyiaran dan sebaliknya memberi tempat sangat minimal bagi kepentingan publik.
Beberapa poin terpenting yang layak dicermati adalah:
A. Migrasi penyiaran digital
B. Sistem siaran jaringan dan muatan lokal
C. Pemusatan kepemilikan
D. Iklan rokok
A.      Migrasi Penyiaran Digital
Draft Revisi versi Baleg berulangkali menyatakan bahwa digitalisasi penyiaran dilakukan secara ‘alamiah’. Ini berarti setiap stasiun televisi swasta dipersilakan tetap menggunakan 8 Mhz yang dikuasainya di era analog dan bermigrasi secara ‘alamiah’ dengan mengembangkan infrastruktur penyiaran digital masing-masing.
Bahkan dalam pasal 26 dinyatakan bahwa: “Kelebihan spektrum frekuensi radio sebagai akibat dari migrasi penyelenggaraan Penyiaran dengan teknologi analog ke teknologi digital tetap dalam penguasaan pemanfaatan oleh Lembaga Penyiaran yang memiliki IPP dan dapat digunakan untuk kepentingan pengembangan penyelenggaraan Penyiaran sesuai dengan arah kebijakan Sistem Penyiaran Nasional.â€
Ini merupakan persoalan besar mengingat penataan ulang frekuensi penyiaran secara terencana dalam proses migrasi penyiaran analog menjadi penyiaran digital sebenarnya membuka peluang besar bagi pemanfaatan frekuensi untuk kepentingan pemerataan informasi di seluruh Indonesia.
Spektrum frekuensi yang digunakan untuk kepentingan penyiaran di era analog seharusnya tidak digunakan sepenuhnya untuk kepentingan penyiaran di era digital.
Kehadiran teknologi digital memungkinkan terjadinya kompresi siaran televisi hingga 12 kali pengecilan. Efisiensi ini menyisakan ruang sebesar 112 MHz dalam spektrum frekuensi , yang dikenal di seluruh dunia sebagai digital dividend.
Bila itu diterapkan, digitalisasi televisi ini akan melowongkan sebagian frekuensi yang nantinya dapat dialokasikan untuk penyediaan internet broadband bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Bila itu dilakukan, pemerintah Indonesia akan berkesempatan untuk mewujudkan mimpi tentang penyediaan internet broadband bagi seluruh masyarakat Indonesia dengan murah dan merata. Pembangunan infrastruktur berkabel internet ke seluruh Indonesia hampir mustahil dilakukan secara merata dalam waktu 10 tahun ke depan karena  kepulauan Indonesia yang begitu besar dan terpecah-pecah. Karena itu ketersediaan digital dividend adalah jawaban sesungguhnya bagi pembangunan jaringan internet broadbanddi Indonesia.
Untuk mewujudkan harapan ini, sisa frekuensi yang diakibatkan oleh migrasi digital selayaknya tidak dikuasai lembaga penyiaran melainkan diberikan kepada negara untuk dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat banyak, yaitu untuk kepentingan internet broadband.
Sebagai konsekuensinya, lembaga penyiaran swasta sebaiknya tidak mengembangkan infrastruktur penyiaran digital yang dikenal dengan nama multiplexing. Dalam hal ini, selayaknya migrasi televisi digital Indonesia dilakukan dengan pendekatan single mux. Dengan pendekatan ini, seluruh stasiun televisi sekadar menumpangkan kontennya pada satu infrastuktur penyebaran siaran digital yang tidak dimiliki lembaga penyiaran.
Seandainya yang digunakan adalah pendekatan multi mux (atau juga hybrid), penghematan spektrum frekuensi untuk melahirkan digital dividend tersebut hampir mustahil dilakukan.
Aturan dalam draft UU versi Baleg bahwa migrasi digital akan dilakukan dengan cara alamiah, akan merugikan kepentingan masyarakat luas. Dalam kondisi ini, bukan saja nantinya akan berlangsung ketimpangan antara lembaga penyiaran raksasa yang memiliki modal untuk mengembangkan infrastuktur digital dengan mereka yang tidak memiliki modal yang cukup, penghematan spektrum frekuensi pun tidak akan dapat diwujudkan sehingga harapan akan digital dividend pun tidak akan tercapai. Bila pola alamiah ini yang dilakukan, migrasi digital pun sulit untuk dilangsungkan secara serentak.
Di pihak lain, bila yang diterapkan system multi mux, akan terjadi pemborosan frekuensi dan pemborosan biaya pengembangan infrastuktur (misalnya jumlah tower, perangkat transmitter, link transmisi, listrik, SDM, dan seterusnya).
Karena itulah kami berharap bahwa sebaiknya yang diterapkan di Indonesia dalam era penyiaran digital bukanlah pendekatan alamiah dengan pengembangan multi mux (ataupun hybrid) melainkan pola single mux. Lebih jauh lagi, kami menganggap pengembangan infrastruktur seharusnya dilakukan oleh negara, sehingga lembaga penyiaran swasta tidak perlu berlomba-lomba mengembangkan infrastruktur penyiaran dan hanya berfokus pada pengembangan isi siaran.
B.      Sistem Siaran Jaringan
Draft Revisi UU memang memuat peraturan mengenai kewajiban Sistem Siaran Jaringan (SSJ). Namun pada dasarnya, formulasi aturannya (pasal 77 dan 78) menjadikan sistem siaran terpusat sebagaimana yang sudah berlangsung selama ini akan terus bertahan.
SSJ hanya akan berarti bila stasiun induk mengembangkan stasiun berbentuk badan hukum di setiap daerah yang memiliki stasiun siaran, studio produksi, sumber daya manusia, dan muatan lokal yang melayani kepentingan masyarakat setempat. Draft revisi versi Baleg sama sekali tidak mengatur hal-hal tersebut.
Dalam pasal 77 hanya dinyatakan bahwa isi siaran dipancarteruskan melalui LPS (Lembaga Penyiaran Swasta) kepada stasiun perwakilan di daerah, namun tidak termuat penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan ‘stasiun perwakilan di daerah’. Dengan ketidakjelasan itu, bisa saja yang dibangun oleh LPS adalah stasiun perwakilan yang hanya berapa stasiun transmisi (seperti yang sudah dijalankan selama ini).
Di pasal 78 juga dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan muatan siaran lokal di setiap perwakilan LPS lokal bisa dalam bentuk: “…muatan siaran lokal dari daerah lain (cross culture) di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesiaâ€. Ini dapat menyebabkan LPS hanya melakukan pertukaran siaran lokal berbagai daerah sebagai isi muatan lokal mereka, dengan mengabaikan kebutuhan masyarakat setempat terhadap infomasi mengenai lingkungan terdekat di mana mereka hidup.
C.     Pemusatan Kepemilikan
Draft Revisi UU Penyiaran versi Baleg menetapkan aturan yang sangat kabur mengenai pemusatan kepemilikan dan penguasaan lembaga penyiaran swasta. Draft ini hanya menyatakan bahwa ‘pemusatan kepemilikan dan penguasaan’ dibatasi  (pasal 81), tanpa menegaskan pembatasan yang dimaksud. Pengalaman selama ini sudah menunjukkan bagaimana gejala ke arah monopoli dan konglomerasi lembaga penyiaran di Indonesia sulit dicegah karena ketiadaan aturan yang tegas di tingkat undang-undang.
D.     Iklan Rokok
Draft Revisi UU Penyiaran versi Baleg sama sekali tidak memuat pengumuman iklan rokok. Ini mengherankan mengingat dalam Draft Revisi versi Komisi I, secara jelas termuat larangan iklan rokok. Kami berharap larangan iklan rokok yang termuat dalam revisi versi Komisi I tetap dipertahankan.
Di luar empat poin masalah tersebut, masih terdapat sejumlah aturan yang perlu dibicarakan demi kepentingan publik. Tapi setidaknya empat hal tersebut adalah hal-hal paling mendasar sehingga bila Draft Revisi versi Baleg ini yang disahkan sebagai Revisi UU Penyiaran, kepentingan publik dapat dikatakan terabaikan.
Dengan demikian, Departemen Ilmu Komunikasi FISIP UI berharap bahwa Komisi I DPR dapat mempertimbangkan kembali revisi UU Penyiaran yang sedang dirancang agar UU tersebut berpihak pada kepentingan rakyat luas dan bukan kepada kepentingan pihak tertentu.
Oleh Ketua Departemen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Indonesia, Dr. Pinckey Triputra, MSc