KEBERADAAN ruang publik adalah salah satu hal utama untuk keberlangsungan hidup bermasyarakat. Tidak terkecuali ruang publik yang digunakan oleh kegiatan yang bertujuan untuk pelestarian kesenian dan kebudayaan.
Melestarikan sebuah gedung bersejarah pun tidak kalah pentingnya. Bagaimana nilai-nilai historis dan budaya yang terkandung di dalamnya sebagai salah satu instrumen pelestarian kesenian dan kebudayaan itu sendiri.
Terlebih, jika gedung bersejarah tersebut digunakan sebagai tempat beraktifitasnya kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk melestarikan kebudayaan itu sendiri.
Gedung Yayasan Pusat Kebudayaan (YPK) adalah salah satunya. Peran gedung yang pada zaman Hindia Belanda menjadi balai pertemuan (Ons Genoegen) ini, sangat penting sebagai ruang publik.
Pada zaman pendudukan sampai masa perjuangan kemerdekaan, gedung ini ikut mencetak seniman-seniman handal tanah air.
Tentunya, para seniman itu berperan dalam pelestarian seni dan budaya itu sendiri.
Gedung YPK termasuk salah satu Gedung Cagar Budaya kategori A yang termaktub dalam Peraturan Daerah No 19/2009 tentang Pengelolaan Kawasan dan Bangunan Cagar Budaya.
Dalam Undang-undang No. 5 tahun 1992 yang direvisi menjadi UU Nomor 11 Tahun 2010 disebutkan, renovasi Bangunan Cagar Budaya kategori A tidak boleh sembarangan, tidak boleh mengubah bentuk bangunan, material yang digunakan harus sesuai dengan material asalnya dan lain-lain.
Di mana, sumber pendanaan pengelolaan Gedung tersebut adalah berasal dari APBD, yang tidak lain berasal dari masyarakat. Maka, peran Pemerintah, sangat dituntut untuk keseriusan dalam pemeliharaan dan pengelolaan aset-aset Negara atau Daerah.
Telah diketahui bersama, Gedung YPK yang seharusnya “hidup” secara fisik dan hidup dengan aktifitas ini, terbengkalai begitu saja.
Robohnya bagian belakang panggung tidak terlepas dari absennya peran Negara dan juga DKJB (Dewan Kesenian Jawa Barat).
Reaksi seniman-seniman Jawa Barat membentuk Dewan Kesenian Jeprut Buligir adalah upaya melawan kealpaan DKJB dan Pemerintah. Dan ini harusnya menjadi bahan evaluasi atas kinerja DKJB selama ini.
Bagaimana seharusnya DKJB membuat dan melaksanakan program yang melibatkan langsung peran seniman-seniman yang ada di Jawa Barat agar tahu bagaimana seluk beluk seni dan budaya yang ada di Jawa Barat.
Dan tentu tahu bagaimana melestarikan kesenian dan kebudayaan itu sendiri. Bukan malah dikuasai oleh kalangan tertentu untuk sekedar menghabiskan anggaran tanpa terasa dengan jelas program-programnya.
Tentu, permasalahan semacam ini adalah aib yang tidak perlu terjadi. Idealnya, sebuah Dewan Kesenian mampu mengakomodir kebutuhan dan menghidupkan seni budaya agar tetap lestari.
Dan sudah selayaknya, sebuah dewan kesenian mampu bersinergi dengan masyarakat dan seniman-seniman yang ada, untuk melangkah bersama menghidupkan seni dan budaya itu sendiri.
Oleh Muhamad Seftia Permana, Pemerhati Sosial Budaya Bandung