KedaiPena.Com – Kritik atas utang yang menumpuk harus diterima dengan lapang dada. Karena utang sudah pasti menjadi beban APBN.
Demikian dikatakan oleh anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan saat menanggapi respon atas tindakan Sri Mulyani yang menjabarkan poin-poin terkait utang negara.
“Program Pengampunan Pajak, maka pemerintah akan makin sulit merealisasikan penerimaan negara yang lebih baik,” kata anggota Komisi XI DPR Heri Gunawan dalam siaran persnya di Jakarta, Selasa (27/3/2018).
Di sisi lain, kata anggota Fraksi Partai Gerindra, beban jatuh tempo pembayaran utang makin besar. Pada 2018 nanti sebesar Rp390 triliun, dan ketika di tahun 2019 akan ada dikisaran Rp420 triliun.
Sehingga, lanjut dia, total keseluruhan pada pembayaran jatuh tempo mencapai Rp810 triliun.
Belum lagi, kata Heri, adanya gap antara realisasi pendapatan dan belanja, di mana belanja rata-rata tumbuh di kisaran 5 persen. Sementara realisasi pendapatan Negara hanya tumbuh di kisaran 3 persen.
Mantan Ketua Komisi VI DPR menambahkan semua tahu membengkaknya utang menjadi penyebab rusaknya APBN. Lihat saja, defisit makin lebar hampir 3 persen.
“Bahwa defisit memang belum sampai 3 persen yang dijamin UU, tapi pemerintah tetap tak bisa keasyikan ngutang. Sebab kalau sudah keasyikan ngutang, susah menerima kritik atau masukan,” tambahnya.
Heri menegaskan sangat jelas sekali bahwa utang itu ditarik hanya untuk membayar bunga utang. Istilahnya gali lubang, tutup lubang. Untuk melihatnya, cukup dengan membaca keseimbangan primer.
Keseimbangan primer, tegas Heri, dalam APBN menggambarkan kemampuan Pemerintah membayar pokok dan bunga utang dengan menggunakan pendapatan negara.
“Kalau nilainya negatif, pemerintah musti menerbitkan utang baru untuk membayar seluruh pokok dan bunga utang,” ucapnya.
Lihat saja, lanjut Heri, nilai keseimbangan primer masih mencapai negatif Rp121,5 triliun. “Dengan begitu, kita tentu pantas kuatir bahwa jangan sampai utang yang sudah tercatat sebesar 4.034,80 triliun itu tidak produktif dan hanya habis untuk membayar bunga utang saja,” tuturnya.
Dikatakan Heri, pemerintah tidak boleh membandingkan utang Indonesia dengan negara lain, ditengah current payment yang terus menerus negatif lantas kemudian dikatakan aman.
Dengan Jepang, misalnya, rasio utang Indonesia memang lebih rendah dan masih dalam batas aman yang dipersayaratkan UU, yaitu di bawah 60 persen. Tapi, utang jepang itu dipegang mayoritas oleh dalam negeri Jepang sendiri. Hampir 50% dipegang oleh Bank Sentral.
“Sebab itu, saya tetap meminta pemerintah untuk tetap prudent dalam mengelola utang dan selalu terbuka menerima kritik. Kalau tidak, utang kita ini bukan tidak mungkin akan tembus Rp5.000 triliun,” tandasnya.
Untuk diketahui, lebih dari 70 persen penerimaan Negara bersumber dari pajak. Sementara itu, realisasinya terus melenceng dari rencana. Tahun 2015, realisasinya hanya Rp1.285 triliun atau melenceng dari target APBN-P sebesar 1.489 triliun.
Tahun 2016 juga melenceng dari target APBN-P TA 2016 sebesar Rp1.539,2 triliun. Untuk tahun 2017, tercatat Per 30 Desember 2017, penerimaan pajak hanya Rp 1.145,59 triliun, dari target Rp 1.283,6 triliun.
Di sisi lain, tax ratio Indonesia adalah yang terendah di dunia, yakni hanya 11 persen. Dengan begitu, lalu beban jatuh tempo utang yang terus naik dibayar pakai apa di tengah-tengah adanya gap antara realisasi pendapatan dan belanja, di tengah-tengah realisasi pajak yang terus melenceng, di tengah-tengah angka tax ratio yang rendah.
“Inilah yang saya katakan bahwa utang adalah “bom waktu†yang akan terus menjadi beban dari tahun ke tahun,” imbuhnya.
Laporan: Muhammad Hafidh