KedaiPena.Com – MUI mengingatkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy tentang keinginannya menghapus pendidikan agama di sekolah.
Dengan alasan nilai agama di rapor siswa akan diambil dari pendidikan di Madrasah Diniyah, masjid, pura, atau gereja.
Gagasan tersebut jelas bertentangan dengan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional khususnya Pasal 12 (1) butir a.
UU tersebut mengamanatkan, bahwa setiap peserta didik pada setiap Satuan Pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama.
Dalam UU ini jelas ditegaskan, bahwa
kewajiban memberikan pendidikan agama itu pada setiap Satuan Pendidikan.
Pengertian Satuan Pendidikan dalam UU ini sebagaimana tertulis dalam Ketentuan Umum, adalah kelompok layanan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan pada jalur formal, nonformal, dan informal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan.
“Jadi setiap siswa yang menempuh pendidikan baik itu di jalur formal, nonformal maupun informal, itu berhak mendapatkan pendidikan agama,” ujar Waketum MUI, Zainud Tauhid Saadi, dalam pers rilis, Rabu (14/6).
“Dan sekolah wajib memberikan pendidikan agama kepada siswa,” lanjutnya. Bahkan, lebih ditegaskan dalam UU tersebut kewajiban tersebut harus sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan pendidik yang seagama.
Hak siswa mendapat pendidikan agama adalah hak yang melekat pada setiap siswa baik yang belajar di jalur formal, nonformal maupun informal.
Pihak sekolah sebagai pengelola pendidikan jalur formal wajib memberikan pendidikan agama. Kewajiban tersebut tidak bisa disubstitusikan kepada lembaga pendidikan yang lain.
Karenanya, MUI memohon kepada Mendikbud untuk lebih bijak dalam mengeluarkan pernyataan apalagi menyangkut hal yang sangat sensitif dan berpotensi menimbulkan kegaduhan.
“Lebih bagus Pak Menteri fokus bekerja menyiapkan anak didik lebih berprestasi. Daripada terjebak pada polemik yang tidak produktif,” usulnya.
Banyak masalah pendidikan yang belum tertangani dengan baik, misalnya masalah sarana pendidikan, tenaga kependidikan, masalah Ujian Akhir Sekolah, pelaksanaan Kurikulum 2013 yang sampai saat ini belum tuntas, dan masih banyak masalah lainnya.
“Untuk menyesaikan itu saja, waktunya tidak cukup. Apalagi ditambah dengan masalah baru yang kontroversial,” tandasnya.