Artikel ini ditulis oleh Abdul Rohman Sukardi, Pemerhati Sosial dan Kebangsaan.
Perjumpaan demokrasi dengan kemajuan teknologi informasi menjadi pisau bermata ganda. Apalagi pada era ledakan beragam platform digital seperti saat ini.
Pada satu sisi mendorong percepatan kecerdasan kolektif. Kecerdasan yang positif. Di sisi lain beragam keburukan juga terkonsolidasi. Salah satunya saling berkelindan antara budaya kritik dan cercaan dalam diskursus kebangsaan.
Secara teoritik, kritik adalah proses analisis dan evaluasi terhadap sesuatu dengan tujuan meningkatkan pemahaman, memperluas apresiasi atau membantu memperbaiki. Sedang cercaan menurut KBBI adalah ejekan yang keras, makian, umpatan, cacian.
Begitu pula dengan sumpah serapah. Adalah berbagai kata buruk, maki-makian disertai kutukan.
Kita bukan saja sering mendapatkan berita hoax di berbagai group WA atau media sosial. Cercaan dan sumpah serapah terhadap pemerintah atau keadaan kebangsaan juga menjadi menu harian.
Media sosial merupakan ruang kreatif terbuka bagi semua content creator. Tidak jelas kualifikasi content creator itu. Reputasi akademik, kadar intelektual maupun moralitasnya. Keahliannya mengemas sebuah content untuk menarik dicermati publik luas.
Tanpa disadari, banyak orang percaya unverified issue. Isu-isu yang tidak terverifikasi kebenarannya. Maka tidak mustahil seorang Profesor Doktor, Ulama, Kyai, dibuat percaya oleh content yang dibuat mahasiswa semester 1. Dari kampus pinggiran.
Sorang pakar terhipnotis oleh keahlian pembuat konten tanpa banyak memverifikasi muatan konten itu. Banyak orang-orang terkemuka menganggap content sebagai sumber informasi akurat.
Realitas itu juga menggeser tradisi diskursus publik dari kritik menjadi ruang cercaan terhadap rezim atau kondisi kebangsaan. Narasi-narasi seperti “rezim penipu”, “rezim perampok”, “kolonialisasi TKA”, “kendali Xi Jinping”, “Presiden Boneka”, “hancur negeriku”, marak kita jumpai dalam beragam kemasan konten dan beredar di media sosisal.
Apa salahnya?. Bukankah itu cerminan demokrasi?.
Maka narasi “kritik membangun” era orba harus didekonstruksi. Prinsip ”kritik membangun” itu merupakan pembungkaman terhadap kekebasan berekspresi?.
Kita bisa mencermatinya dari realitas sosial dan perspektif spiritual. Pergeseran tradisi kritik menjadi cercaan mencerminkan realitas sosial bahwa kecakapan teknis masyarakat dalam menyikapi isu-isu kebangsaan sangat rendah. Selain juga mencerminkan kadar akhlak diskursus publik yang rendah pula.
Kapasitas terpasang intelektual publik tidak cukup kompeten dalam membangun animo korektif berbasis argumentasi yang kuat. Terciptalah frustasi sosial yang diluapkan melalui beragam cercaan maupun sumpah serapah.
Kondisi tersebut juga mencerminkan rendahnya akhlak publik. Terbukti tidak ada perlawanan berarti terhadap budaya cercaan dan sumpah serapah dalam responsinya atas problem bangsa. Hal itu terjadi pada masyarakat ber-Tuhan.
Sedangkan secara spiritual, budaya cercaan dan sumpah serapah bisa bermakna doa kolektif. Sebagaimana sering kita dengar, “kata adalah doa”.
Berdasar keterangan hadits riwayat Ibnu Umar, Rosulullah Muhammad SAW., selalu menghindar dari kata-kata yang terkesan jorok atau kasar. Apalagi jorok dan kasar. Tentu ditinggalkan.
Rosulullah SAW., juga diam seribu bahasa ketika ditanyakan seseorang bagaimana cara menyikapi jika keluarganya selingkuh. Pertanyaan itu sebuah pengandaian. Belum terjadi. Belum ada kasus.
Selang beberapa waktu orang itu datang ke Rasulullah. Ia menceritakan kasus yang ditanyakan itu ternyata menimpa dirinya (HR Muslim: 1493).
Begitupula dengan kisah orang Badui yang sakit panas. Oleh Rasulullah dikatakan sakitnya tidak apa-apa dan menjadi penghapus dosa.
Si Badui tidak percaya. Justru menganggap penyakitnya menimpa orang-orang tua dan mengantar pada kematian. Besoknya si Badui itu meninggal. Sebagaimana HR Al-Bukhari 3616.
QS Yusuf ayat 13 juga menceritakan kekawatiran Nabi Yakub terhadap Nabi Yusuf akan dimakan Serigala. Kekawatiran itu terjadi. Nabi Yusuf diperdayai saudaranya dengan alasan dimakan Serigala.
Sedangkan QS Yusuf 33 menceritakan do’ nabi Yusuf lbih baik dipenjara daripada menuruti ajakan wanita berzina. Ternyata Nabi Yusuf juga berakhir di penjara untuk waktu lama.
Itulah keterangan-keterangan tentang kata-kata memiliki dimensi do’a. Maka harus berhati-hati dengan kata-kata.
Kisah dalam hadits dan Al Qur’an seharusnya menjadi rujukan moral bagi segenap muslim. Penduduk mayoritas terbesar di Indonesia. Untuk mewujudkan diskursus publik berakhlak. Jauh dari cercaan dan kata-kata kasar.
Kritik harus melalui cara-cara yang baik. Menggunakan basis argumentasi yang baik.
Cacian dan cercaan bisa menjadi doa keburukan untuk bangsa dan negara. Implikasi negatifnya akan diterima secara kolektif segenap komponen bangsa.
Maksud hati mewujudkan perubahan menjadi lebih baik. Melalui beragam sikap kritis. Namun cara-cara cercaan dan cacian akan berbuah energi negatif. Tentu seharusnya dihindari. Oleh kaum ber Tuhan.
ARS ([email protected]), 18-05-2024
[***]