Artikel ini ditulis oleh Arief Gunawan, Pemerhati Sejarah.
DALAM kosmologi Jawa Zaman Kolobendu atau zaman kekacauan antara lain ditandai oleh ketidakbecusan penguasa mengurus soal remeh yang dibutuhkan oleh rakyatnya sendiri.
Ciri lainnya ialah semakin banyaknya orang berpangkat atau pejabat yang berwatak khianat.
Fase Kolobendu setingkat lebih tinggi dari Zaman Edan yang disebut Ronggowarsito dalam Serat Kalatidha. Sebelum akhirnya memasuki Zaman Kalasuba, ialah masa pemulihan dan pencerahan, dimana kebenaran menjadi pegangan.
Apakah yang akan dikatakan Ronggowarsito andai ia masih hidup?
Keedanan zaman yang kini terjadi telah melampaui ramalannya. Zaman Kolobendu yang dinujumkan oleh Jayabaya ternyata kini benar-benar terjadi.
Apa contoh nyata penguasa tak becus mengurus persoalan remeh yang dibutuhkan oleh rakyatnya sendiri, yang menjadi tanda telah terjadinya Kolobendu?
Persoalan minyak goreng salah satu contohnya. Ketika langka rakyat mati saat mengantri. Waktu muncul di pasaran tak mampu membeli, karena harganya tinggi.
“Ngatur minyak goreng yang berlimpah saja nggak becus. Apalagi ngatur barang langka, seperti kedelai,” tandas tokoh nasional Dr Rizal Ramli belum lama ini, seperti dikutip oleh sejumlah media online.
Minyak goreng dikatakan soal remeh karena kelapa sawit sangat berlimpah dan merupakan salah satu kebutuhan pokok rakyat sehari-hari.
Negeri ini memiliki perkebunan terluas di dunia untuk jenis tanaman yang menjadi bahan utama minyak goreng itu.
Rizal Ramli menekankan tidak adanya kemampuan dalam mengelola manajemen berkelimpahan (abudance), dan manajemen kelangkaan (scarcity).
Persoalan ini, menurutnya, selain merupakan tanggungjawab Menteri Perdagangan, M Luthfi, juga tanggungjawab Menko Perekonomian Airlangga Hartarto yang belakangan malah sibuk pasang baliho dimana-mana, karena kebelet nyapres.
Bagi penguasa bijak yang menghayati kosmologi Jawa Zaman Kolobendu adalah soal penting. Karena merupakan petunjuk atau tanda-tanda dari fase akhir yang akan menyebabkan hancurnya tampuk kekuasaan dengan segala aib yang mengikutinya.
Itulah sebabnya kehancuran Majapahit selain disebabkan oleh perang saudara (Perang Paregreg, 1426), dan akibat kepemimpinan yang lemah pasca Hayam Wuruk, juga disebabkan oleh bencana kelaparan akibat ketidakmampuan penguasa dalam memenuhi kebutuhan pokok rakyatnya.
Dalam narasi sejarah cukup banyak dijelaskan hancurnya sebuah kekuasaan disebabkan oleh ketidakbecusan para penguasa dalam mensejahterakan rakyat.
Karena itu para penguasa bijak di tanah Jawa sejak berabad-abad yang lampau selalu menekankan pentingnya mensejahterakan rakyat, yang tergambar melalui ungkapan abadi yang sering kita dengar:
Gemah Ripah Loh Jinawi Tata Tentrem Kerta Raharja.
Esensinya adalah penguasa harus becus mensejahterakan rakyat dan menciptakan ketenteraman, sehingga membawa hasil gemilang buat bangsa dan negaranya.
[***]