KedaiPena.com – Terjadinya kredit fiktif di PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) yang dilakukan oleh Relationship Manager BRI Cabang Cut Mutia dengan inisial MK melalui produk BRIGuna senilai Rp55 miliar, dinyatakan Ekonom Konstitusi Defiyan Cori sebagai tindakan yang mencoreng prestasi kinerja luar biasa positif di bawah kepemimpinan Direktur Utama (Dirut) Ir. Sunarso, MBA dan Wadirut Ir. Catur Budi Harto, M.Agr selama empat tahun terakhir.
“Mirisnya, tindak kejahatan penipuan (fraud) kredit fiktif dengan nilai jumbo tersebut dilakukan bekerjasama dengan oknum anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang mana otomatis juga mencoreng nama baik institusi TNI dan Panglima Jenderal Agus Subiyanto,” kata Defiyan, Senin (12/8/2024).
Meskipun begitu, menurutnya, publik patut mengapresiasi langkah cepat dan tegas Kepala Kantor Cabang BRI Cut Meutia, Jakarta Rio Nugroho atas kasus fraud tersebut dengan menyerahkan penanganan ke Kejaksaan Agung.
“Langkah tegas ini merupakan wujud nyata komitmen BRI dalam menerapkan nihil toleransi pada tindakan curang dan atau penipuan (zero tolerance to fraud) di lingkungan kerjanya,” ungkapnya.
Namun, kata Defiyan, yang menjadi pertanyaan dan keanehan bagi publik, yaitu kredit fiktif justru terjadi pada salah satu bank terbesar di tanah air yang memiliki sistem dan pengalaman yang canggih (sophisticated).
“Apalagi, proses pengajuan kredit dengan nilai diatas Rp10 miliar membutuhkan persyaratan dan analisa kredit yang ketat, teliti (rigid) dan hati-hati (prudent), selain prinsip 5C yang diterapkan kepada semua debitur,” tuturnya.
Prinsip 5C yang dimaksud adalah Character (karakter debitur, termasuk rekam jejaknya), Capacity (kemampuan keuangan dan non keuangan), Capital (permodalan debitur), Collateral (barang jaminan), dan Condition of Economy (kondisi perekonomian).
Sebab, dalam banyak kasus (juga literatur) kredit fiktif selalu terjadi dengan menggunakan rekayasa dan atau manipulasi data-data dan usaha calon debitur pada umumnya melibatkan karyawan atau pejabat bank tempat debitur mengajukan kreditnya.
“Artinya, tidak mungkin kredit fiktif terjadi jika prinsip kehati-hatian bank (prudential banking) serta peran dan fungsi komite kredit, termasuk peran analis kredit (credit analyst) dijalankan secara konsisten,” tuturnya lagi.
Temuan ini juga diungkapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) atas banyaknya pelanggaran di industri perbankan berupa kredit fiktif.
“Kasus seperti inilah yang menjadi penyebab meningkatnya rasio kredit bermasalah atau non-performing loan (NPL), yang membutuhkan upaya kuat pemangku kepentingan untuk mengatasinya,” kata Defiyan.
Atas fakta tersebut di atas, Defiyan menyatakan kredit fiktif tak mungkin bisa terjadi apabila tidak melibatkan secara berjenjang para analis kredit, komite kredit sampai pucuk pimpinan tertinggi BRI sebelum adanya keputusan pencairan dana kepada debitur oleh otoritas terkait.
“Artinya, kredit fiktif ini tidaklah mungkin hanya dilakukan oleh tersangka MK yang hanya menjabat sebagai Manajer Humas (Relationship Manager),” ujarnya.
Terakhir, ia menyatakan bahwa publik berharap pihak Kejaksaan Agung dapat bertindak adil, hati-hati dan bijaksana dalam menetapkan tersangka atas kasus kredit fiktif BRI.
“Dengan memperhatikan proses dan kebijakan bisnis berkaitan dengan kewenangan untuk mengucurkan kredit bernilai jumbo dalam struktur organisasi BRI Pusat,” pungkasnya.
Laporan: Ranny Supusepa