PERNYATAAN KPU yang mengatakan bahwa lembaga tersebut tidak akan memberikan kesempatan perpanjangan waktu kepada partai politik dalam mendaftarkan pasangan calon Presiden (capres) dan calon Wakil Presiden (cawapres) perlu dikoreksi.
Informasi yang disampaikan kemarin oleh salah seorang komisioner KPU itu jelas keliru dan bahkan sangat berbahaya jika diamini. Masa perpanjangan pendaftaran capres-cawapres wajib disediakan oleh KPU.
Coba bayangkan, jika pada hari terakhir pendaftaran tanggal 10 Agustus nanti, misalnya, ternyata belum ada satu pun gabungan parpol yang berhasil mencapai konsensus terkait capres-cawapres yang akan diusung, terus pada tanggal 20 Oktober 2019 saat masa jabatan Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla (JK) berakhir, siapa yang akan memimpin negeri ini?
Sebab ketika KPU mengatakan tidak ada masa perpanjangan pendaftaran, maka begitu kondisi yang saya sebutkan diatas benar-benar terjadi, itu artinya pintu pertama bagi rakyat memilih calon pemimpinnya sudah digembok oleh KPU.
Jadi gak ada lagi cerita Pilpres 2019. Sebab tidak ada capres-cawapres yang diperbolehkan mendaftar oleh KPU, lewat dari tanggal 10 Agustus 2018. Ini kan jelas tidak benar.
Begitu juga jika pada tanggal 10 Agustus nanti ternyata cuma ada satu pasangan calon (paslon) yang didaftarkan, misalnya, maka masa perpanjangan pendaftaran juga tetap harus disediakan oleh KPU. Sebab konstitusi tidak membenarkan Pilpres diikuti oleh hanya satu pasangan atau paslon tunggal.
Didalam Pasal 235 ayat (4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) telah tegas dinyatakan bahwa dalam hal hanya terdapat satu paslon yang didaftarkan, maka KPU wajib memperpanjang jadwal pendaftaran selama 14 hari.
Kalau untuk kondisi satu paslon saja undang-undang sedemikian tegas menyuruh KPU untuk memperpanjang masa pendaftaran, maka apalagi jika pada masa pendaftaran pertama belum ada satu pun paslon yang didaftarkan oleh partai politik. Logikanya kan begitu.
Lebih dari itu, dalam UU Pemilu, ketentuan mengenai masa pendaftaran capres-cawapres sebetulnya diatur relatif fleksibel. UU hanya menentukan waktunya paling lama delapan bulan sebelum pemungutan suara.
Nah, kalau KPU menetapkan hari pemungutan suara jatuh pada tanggal 17 April 2019, itu artinya masa pendaftaran capres-cawapres sebetulnya masih memungkinkan untuk dibuka sampai dengan tanggal 17 Agustus 2018. Itupun untuk kondisi kondisi normal, bukan untuk kondisi yang saya gambarkan diatas.
Oleh sebab itu, kalau boleh memberi nasihat, saya ingatkan KPU agar tidak bersikap arogan, apalagi sampai berani melawan ketentuan undang-undang. Jadi informasi yang sesat dan menyesatkan itu tolong segera diralat.
KPU seharusnya justru perlu mempersiapkan skenario lain seandainya dua keadaan yang saya sebutkan diatas benar-benar terjadi. Sebab dalam Peraturan KPU mengenai jadwal tahapan Pemilu belum diatur mengenai alokasi waktu untuk perpanjangan masa pendaftaran Pilpres.
Walaupun pun dua keadaan yang saya sebutkan diatas tidak sampai terjadi, rancangan peraturan untuk merevisi jadwal pendaftaran yang perlu diperpanjang itu tetap perlu dipersiapkan oleh KPU sebagai bentuk antisipasi.
Menurut saya, KPU termasuk juga publik perlu memahami tingkat kesulitan yang dialami oleh partai-partai politik dalam membangun sebuah koalisi pada penyelenggaraan Pemilu serentak yang baru pertama kali akan digelar.
Ini kan pengalaman baru bagi partai-partai politik. Sistemnya juga baru. Bangunan koalisi dalam sistem Pemilu yang tidak serentak jelas beda dengan koalisi yang dibangun pada sistem Pemilu serentak. Apalagi ketentuan ‘presidential threshold’ masih dipersyaratkan dalam pengusulan capres-cawapres.
Jadi permasalahan yang dihadapi oleh partai-partai politik dalam membentuk koalisi, baik di kubu petahana maupun di kubu penantang amatlah kompleks. Sehingga wajar menurut saya jika hal itu perlu juga dimengerti.
Oleh Pengamat Politik Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma) Said Salahudin