Artikel ini ditulis oleh M Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Pentingnya penggunaan Hak Angket untuk menyelidiki kecurangan Pemilu khususnya Pilpres berbasis pada semangat moral agar bangsa ini memiliki pemimpin yang kapabel dan jujur. KPU dicurigai sebagai konduktor dari kecurangan Pemilu. Komisioner mewujud sebagai penjahat demokrasi.
Al Qur’an Surat Hujurat 6 mengingatkan orang beriman untuk menyelidiki orang fasiq yang membawa informasi (in jaa-akum faasiqun binaba-in fatabayyanuu). Komisioner KPU yang dipimpin Hasyim Asyari dicurigai terlibat, bahkan aktor utama, dari kecurangan Pilpres. Berita yang dibawa adalah angka sengaja yang tak tervalidasi akibat sistem yang berkualitas rendah. Sistem yang menjadi sarana dari perbuatan kriminal.
Ketika dicurigai KPU sebagai pembawa berita palsu, maka agama meminta agar melakukan penyelidikan (tabayyun). Konstitusi dan Undang-Undang memberi jaminan untuk penelitian seksama. Melalui Hak Angket tentunya.
Jika tidak ada ada “enquete” atau penyelidikan maka akan terjadi musibah pada masyarakat akibat kebodohan Komisioner (an tushibuu qauman bijahaalatin). Ujungnya terhadap isi berita palsu itu akan menimbulkan penyesalan panjang (fatusbihuu ‘alaa maa fa’altum naadimin)–atas apa yang mereka kerjakan maka menimbulkan penyesalan.
Semua menyesal terutama pelaku yang kelak akan dihukum oleh kejahatannya sendiri. Hal ini sejalan dengan tuntutan rakyat dalam aksi demonstrasi “tangkap dan adili Komisioner KPU”.
Produk kecurangan itu haram dan tidak boleh diterima. Menerimanya sama dengan memakan barang haram. Gibran adalah anak haram Konstitusi yang lahir dari perselingkuhan dengan Mahkamah Konstitusi (MK) dan anak haram Demokrasi akibat “masukan” tidak halal KPU. Prabowo yang menggandeng anak haram tentu berpredikat sebagai pasangan haram.
Jika KPU “fasiq” dan Prabowo Gibran “haram” maka dikhawatirkan kemudiannya akan menjadi musuh umat bahkan musuh rakyat. Multi dimensi kecacatannya. Ada ideologi, konstitusi, hak asasi serta religi. Cacat berkepanjangan ini dapat membawa penyesalan abadi.
Bangsa Indonesia akan menyesal memiliki pemimpin hasil dari proses yang tidak jujur dan tidak bermartabat. Kegaduhan dan konflik akan terjadi terus menerus.
Hak Angket adalah solusi atau jalan untuk meluruskan dan melegitimasi. Tidak ada alasan untuk menolaknya. Kecuali mereka adalah pelaku atau menjadi pihak yang terlibat dalam kejahatan Pemilu khususnya Pilpres tersebut.
Negara ini telah dibawa kacau oleh rezim Jokowi karenanya kekacauan ini tidak boleh terus berlanjut. Jokowi dan kepanjangan tangan kekuasaannya harus segera dihentikan.
Haruskah rakyat yang sudah lama berteriak “Makzulkan Jokowi” kini terpaksa sejak dini berdemonstrasi dengan membawa poster dan spanduk bernarasi tuntutan: “Makzulkan Prabowo Gibran”?
Sempurnalah gaung suara rakyat yang semakin mengeras hingga Oktober 2024 “Makzulkan Jokowi, Prabowo dan Gibran!”. Mereka adalah perusak moral demokrasi dan perenggut kehormatan rakyat.
Bandung, 24 Maret 2024
[***]