KedaiPena.Com – Konfederasi Pergerakan Rakyat Indonesia (KPRI) menyatakan mendukung sepenuhnya langkah uji materil terhadap UU no 11 tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak (Tax Amnesyt) yang baru saja disahkan oleh DPR RI 28 Juni 2016 lalu.
“Konfederasi Pergerakan Rakyat Indonesia (KPRI) mendukung sepenuhnya langkah yang diambil oleh Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (SPRI) yang merupakan salah satu anggota federasi KPRI. Kami dari KPRI secara tegas menolak UU Pengampunan Pajak dan mendesak MK untuk membatalkan UU Pengampunan Pajak,†ujar Ketua KPRI Chabibullah dalam pernyataan sikap yang diterima redaksi, Minggu (17/6).
Dikatakan, opsi pemerintah lebih memilih untuk mengampuni para pengemplang pajak tersebut melalui UU Pengampunan Pajak dibandingkan mengusut elit-elit Indonesia yang terlibat dalam kejahatan pajak adalah tindakan keliru.
Pilihan Pemerintah dengan berharap kebaikan hati para pengemplang pajak untuk membawa kembali uangnya kembali ke Indonesia melalui pembayaran tarif tebusan dan repatriasi bukanlah pilihan tepat.
“Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah lebih tunduk kepada para pengemplang yang jelas-jelas tidak patuh membayar pajak, dibandingkan warga negara yang selama ini taat membayar pajaknya melalui pemotongan pajak penghasilan (PPh) dan pajak pertambahan nilai (PPN),†pungkas Chabibullah.
Dalam berbagai kesempatan, sambung Chabibullah, pemerintah selalu menyatakan program Tax Amnesty dalam UU Pengampunan Pajak akan meningkatkan penerimaan negara sebesar Rp 165 triliun pada tahun 2016.
Pernyataan itu, sambungnya, mengartikan bahwa selama ini pemerintah tidak mampu untuk memotong atau memungut pajak dari para pengemplang pajak, padahal jika hal tersebut dilakukan maka akan menambah penerimaan negara.
“Selama ini rakyat selalu dibebankan untuk memperbesar penerimaan negara melalui pajak dan pemotongan subsidi, baik subsidi BBM, pangan dan lainnya,†imbuh Chabibullah.
Maka dari itu, lanjut Chabibullah, selain menyatakan sikap dukungan terhadap judicial review (uji materi) terhadap UU tersebut, pihaknya juga meminta MK membatalkan UU Pengampunan Pajak yang hanya menguntungkan para pengemplang pajak.
Chabibullah mengimbau untuk membangun solidaritas seluruh gerakan rakyat multi sektor untuk melawan kebijakan-kebijakan yang menindas rakyat dan hanya menguntungkan para pemilik modal.
“Bangun kekuatan politik alternatif dengan membentuk partai politik dari gerakan rakyat untuk mewujudkan daulat rakyat yang adil, setara dan sejahtera, serta bangun persatuan dan solidaritas seluruh elemen rakyat untuk mewujudkan kedaulatan, kemandirian dan kesejahteraan bagi rakyat Indonesia,†kata Chabibullah.
Sebelumnya dijelaskan, bagi pemerintah, pengampunan pajak merupakan salah satu solusi di tengah ketidakstabilan ekonomi global dan minimnya penerimaan negara untuk membiayai proyek-proyek ambisius pemerintah. Pengampunan pajak menjadi pilihan yang paling mudah bagi pemerintah untuk menambah penerimaan negara setelah re-alokasi subsidi bahan bakar minyak tidak bisa “dimainkan†lagi.
Sebelum disahkan, RUU ini sendiri telah menuai perdebatan, baik dalam rapat pembahasan di DPR RI maupun di kalangan masyarakat. Hingga bulan April 2016, pembahasan RUU Pengampunan Pajak di DPR RI masih stagnan.
Di tengah tarik ulur pembahasan RUU tersebut, dunia kemudian digegerkan oleh hasil laporan investigasi dari ratusan jurnalis yang diorganisasi The International Consortium of Investigative Journalist (ICIJ) mengenai skandal penggelapan pajak, pencucian uang dan korupsi, yang dikenal Panama Papers.
Total catatan yang terbongkar mencapai 11,5 juta data di dokumen tersebut. Panama Papers menyebut 899 orang dan perusahaan di Indonesia memiliki perusahaan cangkang di beberapa kawasan surga pajak (tax haven). Dari jumlah tersebut, 803 berupa nama pemegang saham, 10 perusahaan, 28 perusahaan yang diciptakan, dan 58 nama pihak terkait. Sebelumnya, ICIJ juga pernah membongkar dokumen Offshore Leaks yang ramai di tahun 2013. Dalam dokumen tersebut, ada 2.961 orang Indonesia yang terdaftar dalam 23 perusahaan.
Merespon terbongkarnya dokumen Panama Papers, dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR di bulan April 2016, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro menyatakan 79 persen dari 803 warga negara Indonesia yang disebutkan dalam Panama Papers mempunyai rekening di luar negeri yang belum dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak. Artinya sebanyak 79 eprsen dari 803 nama WNI yang disebutkan dalam Panama Papers terindikasi kuat mengemplang pajak.
Hal ini jelas telah merugikan negara karena nama-nama tersebut, yang sebagian besar adalah pengusaha dan politisi di Indonesia, telah menyembunyikan hartanya dan tidak melakukan kewajibannya untuk membayar pajak seperti masyarakat lainnya.
Sejak Agustus 2015 lalu, Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) telah mengantongi data tentang 6.000 warga negara Indonesia yang menyimpan dananya di dua negara di luar negeri. Total asetnya melampui produk domestik bruto Indonesia pada 2015 senilai Rp 11.400 triliun. Jokowi bahkan menyatakan dana yang diparkir di luar negeri tersebut berasal dari hasil korupsi, retail, deposito dan jumlah besar, dan perusahaan yang melakukan transfer pricing.
(Dom)