KedaiPena.Com- Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPI) menggelar Rapat Kerja Nasional (rakernas) II pada tanggal 26-28 Februari. Rakernas akan dhadiri 32 perwakilan DPD KPPI Provinsi se-Indonesia, pendiri, Dewan kehormatan, pakar, pengurus dan undangan dari organisasi perempuan beragam bidang.
Sesuai dengan disiplin protokol kesehatan, rakernas KPPI hanya dihadiri sedikit peserta offline yang digelar di di Hotel Morrissey, Jakarta Pusat. Rakernas tersebut juga memfasilitasi peserta dan peminat lainnya secara daring.
Ketua Umum DPP KPPI, Dwi Septiawati Djapar mengaku, akan memanfaatkan momentum rakernas untuk mengkomunikasikan, menyosialisasikan dan mengedukasi terkait keterwakilan perempuan dalam kancah politik nasional.
“Hal tersebut akan disampaikan pada jajaran pengurus DPD KPPI seluruh Indonesia, para pemangku kepentingan dan perempuan politik Indonesia,” kata dia, Jumat.
Ia menegaskan, salah satu misi KPPI adalah mendorong representasi perempuan di parlemen guna terpenuhinya kuota minimal 30% perempuan.
“Sayangnya dari empat kali pemilu yang sudah dilakukan (2004, 2009, 2014, dan 2019) angka keterwakilan perempuan di legislatif masih belum mencapai angka 30%,” tegas dia.
Ia juga menyoroti, langkah sejumlah partai politik meminta agar tidak perlu dilakukan pembahasan revisi Undang-Undang Pemilu.
Padahal, kata dia, revisi regulasi pemilu ini menjadi peluang bagi gerakan perempuan mendesakkan penguatan kebijakan afirmasi keterwakilan perempuan dalam undang-undang.
“Jika DPR dan pemerintah bersepakat untuk tidak merevisi UU Pemilu sehingga menjadi seperti adanya sekarang, bagaimanakah nasib penguatan kebijakan afirmasi? Adakah cara lain yang dapat ditempuh guna menyiapkan payung hukum bagi keterwakilan perempuan?,” tanya dia.
Ia meyakini, melalui UU Pemilu gerakan perempuan mengharapkan adanya dukungan partai politik, penyelenggara pemilu, media, dan tentu saja pemerintah pusat dan daerah.
“Undang-Undang pemilu diharapkan memberi ruang bagi penguatan kebijakan afirmasi dengan mewajibkan parpol menempatkan perempuan caleg pada nomor urut 1 di minimal 30% dapil; melakukan proses rekruitmen caleg secara demokratis dan transparan melalui penerapan merit sytem yang adil dan memastikan caleg telah menjadi anggota parpol minimal dua tahun,” tutur dia.
Ia juga berharap, agar RUU pemilu mewajibkan lembaga penyelenggara pemilu di pusat dan daerah memiliki keterwakilan perempuan minimal 30%.
“Mendukung perempuan caleg dengan memberikan akses terhadap data hasil perhitungan suara, mengatur dukungan dana banpol untuk peningkatan kualitas kader perempuan parpol; serta bersikap adil dan menjauhi perilaku transaksional dalam proses penghitungan suara,” kata dia.
Selain dukungan regulasi undang-undang, lanjut dia, langkah lain yang dapat ditempuh adalah mengupayakan lahirnya peraturan presiden yang mendukung penguatan kebijakan afirmasi keterwakilan perempuan di lembaga legislatif.
“Dengan adanya dukungan payung hukum berupa peraturan presiden, diharapkan terbuka ruang yang lebih luas bagi terwujudnya target 30% perempuan di parlemen pada pemilu 2024,” tandasnya.
Laporan: Muhammad Hafidh