Artikel ini ditulis Syafril Sjofyan, pengamat kebijakan publik, aktivis pergerakan 77-78, Sekjen FKP2B.
Heboh tentang dipecatnya 75 pegawai KPK, 51 secara langsung dan 24 secara pelan. Sisanya untuk 1000 lebih yang lolos, menyusul diberhentikan jika ada lagi ASN tidak loyal atau dianggap tidak berkenan bagi pimpinan banyak lembaga.
Demikian sistemnya jika telah menjadi ASN, apalagi jika statusnya bukan sebagai PNS tetapi hanya sebagai kontrak kerja. Konsekuensi dari revisi UU KPK. Padahal, pegawai KPK semula independen, seperti yang diamanat oleh reformasi. Dan ini telah berjalan baik selama 20 tahun. KPK dulu berjaya. Sekarang lembaga KPK dan pegawainya tidak lagi independen.
Protes yang sangat gencar terhadap penolakan perubahan UU KPK dari berbagai kalangan masyarakat tidak dipedulikan oleh rezim Pemerintahan Joko Widodo dan DPR-RI periode 2019 -2024. Tapi, mereka akhirnya tetap menyetujui dan mengesahkan UU KPK No. 19/ 2019 dengan proses waktu yang diatur secara singkat oleh DPR-RI. Walaupun telah berjatuhan korban yang meninggal dan luka akibat tindakan represif aparat selama unjuk rasa penolakan revisi UU KPK.
Pendirian KPK merupakan tuntutan reformasi pada tahun 1998, karena “tidak berdayanya” lembaga/instansi penegak hukum seperti Kepolisian RI, Kejaksaan RI serta lembaga pengawasan seperti BPKP, BPK termasuk Inspektorat di setiap Kementerian dan badan lainnya sejak Orde Baru. Bahkan sampai sekarang, mereka masih tetap tak berdaya berperang melawan korupsi di instansi mereka masing-masing. Korupsi semakin merusak, menurut pengakuan Mahfud MD, Menko Polhukam.
Semula dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah sebagai lembaga tinggi Negara, bukan lembaga di bawah pemerintahan seperti halnya Kepolisian dan Kejaksaan. Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun, terutama eksekutif.
Tujuannya meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi yang selama ini sangat merusak kemajuan Indonesia, dan menyebabkan Indonesia ketinggalan jauh dari negara Malaysia, Korsel dan RRC.
Sebagai ilustrasi, 50 tahun yang lalu negara RRC dan rakyatnya lebih miskin dan kumuh daripada Indonesia. Melalui penindakan korupsi yang sangat efektif, lugas dan terkesan kejam dengan beberapa jenderal joruptur dihukum mati, kini RRC maju pesat. Mereka menjadi saingan AS sebagai negara adidaya.
Juga KPK Hongkong yang sangat terkenal di dunia, berwibawa dalam memberantas korupsi. Menindak secara cepat tanpa birokrasi yang berbelit, semua petinggi, aparat pemerintahan, termasuk petugas kepolisian Hongkong yang kotor. Di sikat habis tanpa pandang bulu.
Sebenarnya KPK yang dikehendaki era reformasi sama seperti KPK Hongkong. Menindak siapapun dia secara lugas dan tidak birokratis. Sehingga penerimaan/rekruitmen pegawai KPK sejak berdirinya sangat selektif. Penerimaan petugas KPK benar-benar ber integritas dan profesional.
Sebagian besar direkrut dari petugas terbaik terutama penyelidik dan penyidik yang berasal dari kalangan Kepolisian dan Kejaksaan, yang bisa diterima dengan kualifikasi terpilih. Sehingga ada semangat dan kebanggaan bagi para penyelidik dan penyidik tersebut.
Sebagian mereka rela melepas jabatan dan status mereka sebagai PNS di lembaga sebelumnya. Untuk bisa lebih independen dalam melakukan tugas-tugasnya di KPK.
Sebagai ilustrasi, sewaktu KPK perlu penambahan 100 pegawai baru yang mendaftar 27.000 orang, saking ketat tolak ukur kualitasnya, yang lulus hanya 45 orang.
Kini setelah revisi UU KPK No. 19 tahun 2019 yang lahir tidak partisipatif dan disahkan secara refresif dan secara di kejar tayang dalam waktu sangat singkat, telah terjadi secara drastis perubahan sistim KPK.
KPK menjadi lembaga pemerintahan eksekutif yang sangat birokratis, bukan lagi lembaga tinggi Negara yang independen atau ‘superbody’, sebagaimana yang dikehendaki era reformasi.
Pengalihan status pegawai KPK diatur dalam PP No. 41/2020 tentang Pengalihan Pegawai KPK menjadi pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN). Peraturan tersebut ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 24 Juli 2020 dan diundangkan pada 27 Juli 2020, dengan alasan bertujuan dengan menertibkan administrasi negara.
Sesungguhnya UU KPK dan PP tersebut telah mengubah fungsi dan status KPK dari lembaga Tinggi Negara menjadi Lembaga Pemerintahan biasa. KPK menjadi ‘passing out’ dan ‘down grade’. Sesuai UU NO 5 /2014 tentang ASN Pasal 25, bahwa (1) Presiden selaku pemegang kekuasaan pemerintahan merupakan pemegang kekuasaan tertinggi dalam kebijakan, pembinaan profesi, dan manajemen ASN. (2) Untuk menyelenggarakan kekuasaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Presiden mendelegasikan sebagian kekuasaannya kepada Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara, berkaitan dengan kewenangan perumusan dan penetapan kebijakan, koordinasi dan sinkronisasi kebijakan, serta pengawasan atas pelaksanaan kebijakan ASN.
KPK kini harus patuh terhadap UU KPK juga harus menurut kepada UU ASN. Di samping Menpan RB, ada KASN (Komisi Aparatur Sipil Negara), dengan kewenangan ‘monitoring’ dan evaluasi pelaksanaan kebijakan serta pengawasan terhadap penerapan asas serta kode etik dan kode perilaku ASN.
Kemudian ada LAN berkaitan dengan kewenangan penelitian, pengkajian kebijakan Manajemen ASN, pembinaan, dan penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan ASN. Kemudian ada BKN, berkaitan dengan kewenangan penyelenggaraan manajemen ASN, pengawasan dan pengendalian pelaksanaan norma, standar, prosedur, dan kriteria manajemen ASN.
Betapa rumit dan luar biasa birokratisnya KPK kini dengan dua UU KPK dan UU ASN dengan banyaknya institusi yang terlibat. Seperti yang kita amati BKN sangat powerful “memecat” 51 pegawai KPK, walaupun berlindung di balik asesor.
Padahal secara prosedur, asesor tidak berwenang sebagai eksekutor, hanya sekedar rekomendasi bahwa yang diuji kompeten atau belum kompeten.
[***]