SEBULAN terakhir ini di berbagai media diributkan dengan persoalan impor beras. Dimulai dari perdebatan tentang sebab adanya kenaikan harga beras yang melonjak, apakah impor beras diperlukan atau tidak mengingat panen raya sudah dekat dan sebagainya.
Namun di tengah perdebatan di berbagai media itu juga muncul keanehan, kesimpangsiuran pernyataan dari para pejabat pemerintah maupun keganjilan kebijakan yang diambil.
Selain itu ada juga keanehan soal adanya perubahan kebijakan impor beras. Yang menimbulkan banyak pertanyaan dan muncul pula rekaman yang dimuat di youtube yang beredar luas tentang Rapat Dengar Pendapat di Komisi VI DPR, 18 Januari 2018, dengan Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita.
Dalam rekaman itu Enggar gelagapan tidak bisa menjawab karena dibantai oleh anggota Komisi Vi DPR apalagi setelah dikejar dengan pertanyaan yang detil ternyata Enggartiasto tidak mempunyai data stok beras di gudang Bulog.
Akhirnya Enggartiasto pamit meninggalkan RDP DPR dengan alasan akan menghadiri Rapat Terbatas Kabinet dan RDP ditutup tanpa kesimpulan, akan dilanjutkan dikemudian hari.
Sementara itu dalam perdebatan soal impor beras itu mantan Ka Bulog 2000-2001 yang juga mantan Menko Perekonomian, Menteri Keuangan di masa Gus Dur dan mantan Menko Maritim 2015-2016, DR Rizal Ramli dalam berbagai wawancara menyatakan ketidaksetujuannya terhadap impor beras karena sudah dekat dengan masa panen raya. Selain itu, soal kenaikan harga beras medium bisa diatasi dengan operasi pasar yang masif.
Sebagai contoh pada saat menjabat sebagai Kepala Bulog Rizal selalu memonitor harga beras dari hari ke hari. Misalnya ada kenaikan harga beras sebesar Rp 100 , -/kg di Surabaya, Rizal Ramli langsung memerintahkan operasi pasar sebesar 150.000 ton.
Sehingga para spekulan yang bermain dan sudah menimbun beras menjadi buntung menghadapi operasi pasar tersebut. Demikian itu caranya sehingga selama menjabat sebagai Kepala Bulog harga beras selalu stabil dan tidak pernah mengimpor beras.
Dalam impor yang dilakukan oleh Enggartiasto juga ada keganjilan yaitu menunjuk PT PPI (Perusahaan Perdagangan Indonesia/BUMN) untuk melaksanakannya dengan rencana mengimpor beras khusus.
Ada dua keanehan yaitu yang pertama menurut mandat dari Perpres 48/2016 yang melakukan impor beras untuk mengatasi gejolak harga itu harus Bulog. Jadi Enggartiasto telah melanggar Perpres. Yang kedua, yang mengalami gejolak harga itu beras medium tapi yang diimpor dengan alasan untuk mengatasi gejolak harga itu beras khusus.
Dengan adanya dua keanehan ini sangat sulit untuk mengatakan bahwa di balik impor beras ini tidak ada permainan yang tidak sehat. Untuk itu KPK harus menelitinya agar bisa didapatkan bukti penyimpangannya.
Walaupun setelah dilakukan Rapat Koordinasi dengan Menko Perekonomian Darmin Nasution akhirnya yang melakukan impor Bulog sesuai dengan mandat Perpres 48/2016 dan yang diimpor berubah menjadi beras medium namun masih ada keanehan lagi yaitu impor beras ini dilakukan menjelang panen raya.
Bahkan panen raya sudah dimulai di Demak , Kudus dan Grobogan. Walaupun baru beberapa ribu hektar tetapi akan terus menerus sampai bulan Maret 2018 dan pada bulan Februari 2018 saja akan panen sebesar 1,7 juta hektar sehingga Bulog sudah bisa menyerap gabah lagi dalam jumlah sangat besar.
Sementara itu di gudang Bulog masih ada 857.000 ton beras (termasuk 250.000 ton rastra) sehingga masih bisa dilakukan operasi pasar yang masif oleh Bulog hingga akhir Februari 2018.
Keanehannya lagi adalah impor beras itu akan datang di sekitar pertengahan Februari 2018. Jadi di tengah panen raya. Artinya dalih impor beras itu untuk menstabilkan harga dan kurangnya stok beras hanyalah akal-akalan. Fakta ini lebih menguatkan lagi dugaan adanya permainan gelap didalam impor beras ini.
Awal mula dari wacana impor beras ini dipicu oleh adanya lonjakan harga beras medium di pasar. Namun seharusnya juga diperiksa dulu sebab dari lonjakan harga tersebut. Bisa karena suplainya yang berkurang namun juga bisa disebabkan adanya permainan distributor besar yang mengurangi suplai ke pasar agar harga beras naik (mereka sudah menguasai jalur distribusi selama puluhan tahun).
Bisa karena panen di masa lalu yang tidak sesuai target, tetapi bisa juga karena Bulog yang seharusnya menggelontorkan beras ke operasi pasar dalam jumlah besar agar efektif. Banyak oknum Bulog yang merupakan bagian dari permainan harga beras.
Misalnya, dengan menggelontorkan beras untuk operasi pasar hanya incrit-incrit, sedikit sekali ,agar harga beras tetap tinggi dan mereka ikut mendapatkan keuntungan dari hal tersebut.
Menurut keterangan mantan Kabulog Sutarto Alimoeso, bahwa operasi pasar Bulog hanya menggelontorkan 30.000 ton beras untuk 3 bulan. Padahal seharusnya 200.000 ton sebulan atau 600.000 ton selama tiga bulan. Karena itu akibatnya ada lonjakan harga beras. Karena itu juga harus diteliti apakah Bulog sengaja menggelontorkan beras sedikit saja agar harga beras di pasar melomjak naik atau ada sebab lain.
Atau dengan kata lain apakah Bulog menjadi bagian dari permainan melonjakkan harga beras supaya akhirnya diadakan impor beras yang memberikan komisi yang besar bagi pejabat tertentu.
Permainan impor beras, gula, kedelai dan komoditas lainnya sudah menjadi tradisi di tahun-tahun politik untuk mencari dana politik dan dana pribadi bagi pejabat tertentu dari sejak dulu. Dalam RDP dengan DPR 18 Januari 2018 Enggartiasto juga mengaku bahwa untuk impor beras ini dia diarahkan oleh Wapres Jusuf Kalla.
Oleh karena itu demi transparansi, pengelolaan pemerintahan yang bersih dan terbuka yang dapat menimbulkan kepercayaan dan dukungan rakyat maka KPK harus meneliti para pejabat tinggi pemerintahan yang terkait dengan impor beras ini yaitu Wapres Jusuf Kalla , Menperdag Enggartiasto Lukita dan Kabulog Djarot. Negara hanya bisa maju bila pemerintahannya bersih.
Oleh Abdulrachim K, Analis Kebijakan Publik