KedaiPena.Com – Eks Anggota Komisi XI DPR RI yang membidangi masalah keuangan, Harry Poernomo mendesak agar Menteri Keuangan Sri Mulyani dapat bertanggung jawab untuk turut menyelesaikan potensi gagal bayar utang dari sejumlah korporasi di Indonesia seperti yang dilaporkan oleh lembaga internasional Moody’s Investor Service.
Menurut Harry begitu ia disapa, Sri Mulyani harus mengeluarkan kebijakan agar para korporasi tersebut dapat mampu membantu pihak swasta menyelesaikan sejumlah utang-utang korporasi.
“Dia (Sri Mulyani) harus mampu merekstrukturisasi utang (renegosiasi) dengan para kreditor dan melakukan efisiensi APBN agar menekan defisit untuk menghindari utang baru,” ujar Harry kepada KedaiPena.Com, Selasa (8/10/2019).
Langkah lain, kata Harry, adalah meningkatkan Sri Mulyani juga harus mampu meningkatkan PNBP maupun pendapatan pajak (ekstensifikasi) tanpa menambah beban pajak.
“Tentunya untuk para wajib pajak yang sudah taar dan tertib melakukan kewajiabnnya membayar pajak,” sambung politisi Gerindra ini.
Diketahui, lembaga pemeringkat utang internasional Moody’s Investor Service memperingatkan risiko gagal bayar (default) utang perusahaan-perusahaan di kawasan Asia Pasifik, termasuk Indonesia.
Melambatnya pertumbuhan ekonomi global dinilai menjadi sumber risiko bagi kemampuan perusahaan untuk membayar kembali utang yang nominalnya semakin bertambah dari tahun ke tahun.
Menteri Keuangan Sri Mulyani sendiri sepakat agar perusahaan-perusahaan di Indonesia mampu meningkatkan kehati-hatian.
“Perusahaan harus betul-betul melihat dinamika lingkungan di mana mereka beroperasi. Di tengah kondisi ekonomi global dan regional saat ini, apakah kegiatan korporasi mereka akan menghasilkan arus pendapatan yang diharapkan,” tutur Menkeu, beberapa waktu lalu.
Jika tidak, Sri Mulyani mengatakan, risiko pembayaran kewajiban dari pembiayaan, dalam hal ini utang, akan menjadi konsekuensi bagi perusahaan.
Sri Mulyani menilai, tantangan perusahaan untuk meraup pendapatan semakin menantang. Oleh karena itu, ia berharap perusahaan bisa betul-betul mengevaluasi efisiensi sehingga dapat mengantisipasi risiko pelemahan ekonomi yang berdampak pada kinerja perusahaan.
Laporan: Muhammad Lutfi