KedaiPena.com – Beberapa waktu lalu, Presiden Joko Widodo menyatakan akan memperpanjang kontrak PT Freeport Indonesia (Freeport/PTFI), jika dilakukan pembangunan smelter di Papua dan penambahan 10 persen saham untuk Indonesia melalui MIND ID. Langkah ini dinilai akan merugikan Indonesia, jika dibandingkan Indonesia memutuskan untuk mengambil alih kontrak tersebut.
Ekonom UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, mengatakan, meski Indonesia sudah sudah memiliki saham mayoritas, namun ada pertanyaan kritis.
“Apakah ini langkah strategis atau sekadar manuver para pemburu rente (rent seekers) dari oknum negosiator perpanjangan tersebut,” kata Achmad Nur Hidayat, Sabtu (18/11/2023).
Ia menyatakan pembangunan smelter baru di Fakfak, Papua Barat dan divestasi 10 persen saham tambahan untuk pemerintah Indonesia, menuntut transparansi dan keadilan bagi masyarakat lokal.
“Kritik ini menggarisbawahi pentingnya memastikan bahwa kebijakan ini menguntungkan semua pihak, termasuk lingkungan dan masyarakat Papua,” ucapnya.
Berdasarkan laporan keuangan Freeport-McMoran Tahun 2022, PT Freeport-McMoran Inc mencatatkan pendapatan 22,78 miliar Dollar Amerika atau Rp341,7 triliun dengan kurs Rp15.000 per Dollar Amerika.
Di mana, sebesar 37 persen dari total pendapatan tersebut, atau sekitar 8,43 miliar Dollar Amerika yang setara Rp126,39 triliun, disumbang dari operasi tambang emas Freeport di Indonesia.
“Jika Indonesia menguasai seratus persen saham Freeport tanpa perpanjangan kontrak, maka seluruh pendapatan operasional dari Indonesia yang 8,43 miliar Dollar Amerika itu kembali ke Indonesia. Secara teori bisa masuk ke kas negara, setiap tahun,” ucapnya lagi.
Dalam 20 tahun, lanjutnya, tanpa perpanjangan kontrak dan dengan kepemilikan penuh, potensi pendapatan total adalah 20 tahun dikalikan 8,43 miliar Dollar Amerika adalah 168,6 miliar Dollar Amerika atau Rp2.529 triliun.
“Ini merupakan peningkatan signifikan dibandingkan dengan skenario kepemilikan 51 persen di mana hanya sebagian pendapatan yang masuk ke kas negara,” kata Achmad Nur lagi.
Tapi Achmad Nur menekankan bahwa angka Rp2.529 triliun, masih bersifat teoritis dan tidak memperhitungkan faktor-faktor seperti biaya operasional, investasi yang diperlukan untuk pemeliharaan dan pengembangan tambang, serta fluktuasi harga komoditas. Termasuk juga dampak lingkungan dan sosial yang harus diperhitungkan dalam pengelolaan tambang.
“Initinya, perpanjangan kontrak Freeport hingga 2041 dengan penambahan 10 persen saham untuk pemerintah, tampaknya kurang menguntungkan bagi keuangan negara. Dengan kepemilikan 61 persen saham Freeport, penerimaan Indonesia tetap saja lebih kecil ketimbang Freeport,” ungkapnya.
Jika diasumsikan penerimaan tahunan tambang Freeport di Indonesia sebesar 8,43 miliar Dollar Amerika, maka penerimaan Indonesia sebagai pemilik 61 persen saham Freeport sekitar 5,14 miliar Dollar Amerika per tahun. Dalam 20 tahun, hanya 102,8 miliar Dollar Amerika atau sekitar Rp1.542 triliun.
“Jauh lebih rendah dibandingkan dengan potensi pendapatan 168,6 miliar dolar jika Indonesia mengambil alih 100 persen Freeport. Selisihnya hampir Rp1.000 triliun,” ungkapnya.
Laporan: Ranny Supusepa