PASCA teror Paris yang dianggap sukses besar oleh ISIS, Indonesia dan kawasan Asia Tenggara pada umumnya disibukkan dengan meningkatnya ancaman keamanan domestik maupun kawasan.
Tak lama setelah serangan itu, pada akhir November 2015 muncul tayangan video ancaman terhadap keamanan ibukota oleh kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT) yang diketahui sudah berbaiat ke ISIS. Namun setelah tewasnya pemimpin mereka, Santoso yang berlanjut dengan serial penangkapan sejumlah besar pengikutnya, MIT kian melemah di basis utamanya, Poso.
Kemudian pada Januari 2016, terjadi serangan di kawasan Thamrin, Jakarta. Kelompok Bahrun Naim dilaporkan berkaitan erat dengan aksi itu. Belakangan, serangkaian penangkapan terjadi terkait kelompok ini.
Saat itu saya menyebut bahwa sejumlah kelompok sedang bersaing proposal untuk mendapat mandat sebagai wakil ISIS di Asia Tenggara. Dan saya menyebut kelompok-kelompok itu sebagai #ISISWannaBe dan menolak klaim mereka sebagai yang sudah terafiliasi langsung dengan markas ISIS di Timur Tengah yang berkonsekuensi adanya dukungan pelatihan, teknologi dan logistik.
Setelah itu, kemudian menyeruak soal penyanderaan berulang oleh Kelompok Abu Sayyaf dari Filipina Selatan yang juga diketahui sudah berbaiat ke ISIS. Nah,berkait pernyataan Duterte dan Panglima, ASG lebih cocok dengan model ISIS. Sy kira proposal ASG bisa saja menguat dan paling potensial disetujui. Tentu ini bisa membuka persaingan baru, dengan kompetitor-kompetitornya di Indonesia.
Bicara penggemar ISIS di Indonesia, mau tidak mau kita harus menengok lagi aktivitas Kelompok Bahrun Naim sebagai yang paling potensial. Penangkapan di Bekasi memberi legitimasi bagi aparat keamanan untuk menyatakan kelompok ini masih eksis dan masih terus menghubungkan dirinya dengan ISIS.
Energi baru
Boleh jadi, pasca MIT, sisa-sisa anak buah Santoso di luar Poso, turut bergabung dan memperkuat. Dugaan ini diperkuat dengan temuan bom berdaya ledak tinggi di lokasi penangkapan. Sebelum kocar-kacir, MIT sempat diklaim memiliki akses terhadap persenjataan berdaya ledak tinggi. Sementara kelompok Bahrun Naim selama ini diketahui asyik bermain ‘petasan’.
Di sisi lain, konsolidasi kelompok kanan yang sukses melalui aksi 411 dan 212 juga melahirkan kegairahan baru. Apa yang disebut sebagai muslim ‘anyaran’, berpotensi salah jalur dan justru ‘terekrut’ oleh kelompok-kelompok ‘baru’ yang terafiliasi dengan jaringan teror.
Aktivitas yang menguat dengan energi-energi ‘baru’ pasca MIT, ditambah kompetisi dengan ASG, membawa konsekuensi eskalasi potensi ancaman teror di Indonesia. Tentu saja, sasaran prioritasnya tetap. Area publik, fasilitas pemerintah, keamanan dan keagamaan yang rawan dan kurang waspada, terutama di ibukota negara, secara acak akan paling berpeluang mendapat serangan simultan melibatkan bom berdaya ledak tinggi maupun rendah, senjata api dan sarana-sarana lainnya. Ancaman hari ini terhadap istana tentu saja sangat mudah dikaitkan dengan itu.
Aparat keamanan memang harus meningkatkan kewaspadaan dan membagikannya dengan masyarakat. Tapi jangan berandai-andai ISIS menginfiltrasi ormas. Bedakan radikalisme dengan ekstrimisme. Kecuali para pemangku kepentingan lebih tertarik memikirkan cara menghegemoni kelompok kritis dan menghantui warga, ketimbang penanggulangan terorisme yang konkrit.
Peran TNI
Selain itu, ancaman terhadap istana yang notabene berada di bawah tanggungjawab Paspampres, jangan kemudian dibawa ke dalam isu berlarutnya pembahasan RUU Anti Terorisme yang diwarnai polemik soal peningkatan peran TNI dalam pemberantasan teror.
Penegakan hukum, peran intelijen dan komunikasi politik pemerintah harus dikedepankan. Bagaimanapun, perang global melawan terorisme telah gagal. Bukannya mereda, kelompok teror bahkan bermetamorfosis menjadi kelompok aksi insurgensi dengan persenjataan memadai, dukungan logistik dan teroganisir rapi.
Bicara insurgensi, tentu saja lawan efektifnya adalah operasi militer. Apakah ini semua hendak mengarah dan digiring kesana? Semoga tidak. Biayanya sangat mahal dan lebih baik digunakan untuk memperkuat daya tahan masyarakat. Karena virus terorisme masih akan tetap eksis selama kita belum bisa menghilangkan ketidakadilan, kesenjangan, kemiskinan dan kebodohan.
Oleh Khairul Fahmi, Institute For Security and Strategic Studies