KedaiPena.Com – Sejumlah konten-konten vulgar masih marak beredar di platform sosial media YouTube, dan belum terdeteksi oleh pemerintah.
Teranyar, ialah konten milik akun Hendric Shinigami yang berisi proses penatoan kepada perempuan yang dilakukan secara vulgar.
Video milik Hendric Shinigami ini sendiri sudah ditonton hingga 5,3 juta oleh penonton di akun YouTube pribadi miliknya.
Padahal belum lama ini pemerintah melalui Kominfo menertibkan sejumlah konten-konten pornografi milik YouTuber Kimberly Khoe atau Kimi Hime.
Pengamat IT Marsudi Wahyu Kisworo mengakui agak sulit untuk mengantisipasi keberadaan konten- konten vulgar yang tersebar di sosial media khususnya YouTube.
Marsudi menjelaskan, sedianya Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) sudah memiliki alat yang berfungsi memfilter konten-konten negatif tersebut.
“Tapi mereka memang tidak 100 persen terfilter karena mereka (konten) kreator sudah pintar biasanya memainkan judul dengan merubah kata-kata. Misalnya huruf A dengan angka 4,” ungkap Marsudi kepada KedaiPena.Com, Sabtu, (31/8/2019).
Mantan Rektor Perbanas Institute ini, menilai, platform seperti YouTube sendiri seyogyanya juga sudah memiliki keamanan dan proteksi soal konten-konten vulgar.
“Platfrom resmi seperti youtube pasti sudah mempuanyai peraturan yang mengatur keberadaan tentang konten-konten pornografi, dan hak asasi manusia. Saya yakin ada mekanismenya kalau kita komplain soal konten tersebut pasti di take down. Kalau tidak ada komplain yang akan terus ada,” papar Marsudi.
Meski demikian, Komisaris Independen Telkom Indonesia ini, mengakui standar-standar baku yang diterapkan oleh platfrom seperti YouTube soal keberadaan konten vulgar berbeda di setiap negara.
“Karena memang standar pornografi berbeda di setiap negara. Kita tidak bisa menerapkan standar kita di platfrom tersebut kecuali kita punya platform YouTube sendiri,” jelas dia.
Oleh sebab itu, Marsudi menekankan, pentingnya keberadaan platfrom yang dimiliki oleh Indonesia sendiri. Hal ini juga turut mendukung terciptanya kedaulatan bangsa di sektor siber.
“Salah satu alasan kita tidak punya kedaulatan siber karena kita tidak punya platform sendiri. Platform chat saja kita tidak punya, platform untuk sosial media kita tidak punya. Beda dengan Tiongkok mereka punya Baidu dan lain- lain. Karena kita gak punya platform, kita tidak bisa menerapkan standar kita sendiri,” ungkap Marsudi.
“Kalau kita punya sosial media sendiri kita bisa atur sendiri. Bangsa kita jadi punya kedaulatan siber sendiri,” tukas Marsudi.
Laporan: Muhammad Lutfi