KedaiPena.Com – Prof. Didin S. Damanhuri, Guru Besar Ekonomi Politik Universitas Paramadina, meluncurkan sebuah buku berjudul Ekonomi Politik Indonesia dan Antar Bangsa.
Buku ini diberi pengantar dan diedit oleh Fachry Ali, seorang pakar dan pemikir sosial ekonomi yang sangat mumpuni.
Peluncuran dan diskusi buku tersebut dilakukan di Natan Book Store & Café, Jalan Cisanggiri V no 12, Kebayoran Baru, Jaksel, Senin (1/7/2024).
Prof. Didin S. Damanhuri mengatakan, dalam teori ekonomi, kalau semua pihak terutama yang memimpin itu bertindak untuk sama-sama memakmurkan dengan perumpamaan sumber daya tidak terbatas.
Awalnya dikenal sebagai pendapatan nasional berasal dari Amerika dengan mengukur sedemikian rupa, agar kondisinya dapat predictable.
Negara-negara berkembang menjadi korban dari Gross Domestic Product (a (GDP) Oriented, yang selalu menghitung perekonomian dan menjadikannya tujuannya.
Soeharto merupakan seorang pemimpin negara yang GDP Oriented, di era reformasi ini di mana Sri Mulyani memimpin 4 periode Kementerian Keuangan lebih sebagai orang yang neoliberalisme dan mengatakan, tidak mungkin sebuah negara maju dengan pertanian dan koperasi. Kemudian Bank Syariah pun turut serta dalam GDP Oriented.
GDP Oriented mengeksploitasi pedesaan dan tidak kembali lagi ke desa. Dengan ini, akan terjadi middle income trap dan tidak akan terjadi Indonesia emas 2045 yang dicanangkan.
Sementara itu, Fachry Ali mengatakan, dalam buku ini dia agak terkejut mengenai konsep “Degrowth” sebuah kritik atas GDP Oriented. Konsep ini bukan sebuah teori, melainkan Gerakan sosial yang dimulai di negara eropa bukan negara berkembang. Sehingga bisa melihat sejarah sendiri dan melihat hal-hal di luar itu.
Fachry Ali ingin mengedit buku dari Didin Damanhuri dengan inisiatifnya sendiri. Dalam scan buku yang dimiliki, Fachry mengedit dan memberikan pengantar serta judul baru ‘Didin Damanhuri, Ekonom Yang Mencari Jalan Pulang’.
Ekonomi itu kian lama mengklaim dirinya sebagai sains. Kemudian Didin tidak bangga mengklaim ‘economy is a queen of sciences’. Dalam konteks ini lah asumsi-asumsi dasar harus di terapkan di berbagai tempat.
Tentu bisa di berbagai negara termasuk negara baru berkembang dan baru merdeka. Inilah sebabnya dalam perspektifnya pulang sebagai economist, menyampaikan anjurannya terhadap pertanian, UMKM, masyarakat dan lembaga masyarakat.
Dengan ini menganut paham holistic economic, dan melihat bahwa ekonomi itu adalah bagian integral ‘as a hole’ harus mempunyai pemihakan-pemihakan.
Kalau kemudian pandangan negara dipusatkan pada pembangunan ekonomi pedesaan maka implikasinya akan banyak yang dapat berpartisipasi di dalamnya, kemudian akan terjadi ‘well of income distribute’ yang lebih adil.
“Kemudian jika ekonomi dikembangkan dalam sektor finansial maka akan banyak yang tertinggal di belakang,” tandasnya.
Laporan: Ricki Sismawan