MUNGKINKAH suatu ketika Jokowi mendapatkan Nobel Perdamaian atas upayanya ikut mendamaikan Palestina-Israel?
Inilah pertanyaan paling jauh setelah Presiden Amerika Donald Trump membuat “Slap of The Century.†Ia mengakui Jerusalem sebagai ibu kota Israel. Ini sekaligus mengabaikan perjuangan sangat panjang dan melelahkan Palestina.
Sejak lama Palestina menginginkan Jerusalem Timur sebagai ibu kota Palestina dalam solusi damai dua negara merdeka.
Mungkinkah Nobel Perdamaian untuk Jokowi? Jawaban singkat: Why Not? Jawaban positif: Ayo kita perjuangkan! Indonesia negara terbesar negara berpenduduk Islam di seluruh dunia. Jokowi berada dalam momen sejarah yang tak datang dua kali.
Nobel perdamaian bukan pula hal yang asing. Presiden SBY di tahun 2006 hampir mendapatkannya. Itu sebagai anugrah peran SBY (dan Jusuf Kala) dalam perdamaian Aceh. Di era itu, Gerakan Aceh Merdeka yang puluhan tahun melakukan perlawanan bersenjata, akhirnya sepakat damai.
Tak tanggung- tanggung, saat itu SBY bahkan dinominasikan oleh Robert Wexler, anggota kongres AS. Peluang SBY bahkan dibahas positif oleh banyak negara. Namun akhirnya hadiah itu jatuh ke tangan Mohammad Yunus atas peran historiknya pada rakyat miskin di India.
Mungkinkah rintisan SBY kini dilanjutkan oleh Jokowi?
Langkah pertama menuju Nobel perdamaian adalah gagasan. Solusi apa yang perlu Jokowi perjuangkan?
Langkah kedua ialah upaya ekstra yang Jokowi lakukan mencapainya.
Solusinya sudah ada dalam sejarah: lahirnya dua negara merdeka saling menghormati, bertentangga dengan damai. Kota Jerusalem dibagi. Bagian Timur untuk Palestina. Sisanya untuk Israel.
Mengapa solusi di atas yang paling baik untuk semua? Solusi itu didukung oleh mayoritas penduduk Israel dan Palestina sendiri. Bahkan sejak tahun 2002, survei yang dilakukan oleh PIPA mencatat sebanyak 72 persen warga Palestina dan Israel menyetujuinya.
Survei Gallup Poll di tahun 2013 mengulangi pertanyaan yang sama. Sebanyak 70% warga Palestina dan 52% warga Israel tetap mendukung gagasan dua negara merdeka yang saling menghormati, bertetangga.
Solusi dua negara merdeka sudah sangat panjang. Solusi itu pertama kali diperkenalkan tahun 1937 dalam Peel Commision Report. Solusi yang sama terus ditolak dan diperkenalkan kembali berkali kali hingga tahun ini.
Itulah solusi yang paling adil dan realitik. Tak ada dinding cukup tinggi. Tak ada senjata cukup mematikan yang dapat mendamaikan dua komunitas bertetangga itu tanpa solusi yang dirasakan adil bagi semua.
Dengan gagasan itu, Jokowi maju ke OKI, menggalang pertemuan negara Islam internasional, dengan menyerang terlebih dahulu. Negosiasi terbaik adalah serangan di awal. Serangan yang paling strategis: OKI bersepakat mengakui Jerusalem Timur ibu kota Palestina merdeka.
Ini menjadi antitesis pernyataan sepihak Donald Trump yang menjadikan keseluruhan Jerusalem ibukota Israel. Tak tanggung tanggung, Trump bahkan memberikan tawaran memindahkan warga Palestina di Jerusalem ke Puerto Rico. Ia mengira manusia itu seperti kotak kardus yang mudah saja dipindah-pindahkan.
OKI organisasi kerjasama negara yang mayoritas penduduknya Islam. Ia didirikan tahun 1969, terdiri dari 57 negara. Resolusi yang dihasilkan OKI akan bergaung internasional.
Agar gagasan di atas mendapatkan persetujuan menyeluruh, Jokowi dapat menggalangkan inisiatif bersama Erdogan dari Turki dan salah satu penguasa mewakili Timur Tengah. Bertiga mereka menggalang inisiatif.
Setelah tesis dari Donald Trump, dan anti tesis dari OKI yang ikut dipelopori Jokowi, datangkah proses perdamaian sebagai sintesisnya. Dalam tahap itu, Jokowi dapat berperan signifikan pula.
Tentu kita tak bermimpi konflik Israel- Palestina tiba-tiba selesai. Ini konflik sudah berakar ribuan tahun ke belakang.
Namun langkah strategis Jokowi atas Palestina-Israel di momen saat ini akan membuatnya menjadi profile yang terpandang di dunia.
Lebih jauh lagi efek langkah ini akan positif bagi muslim dalam negeri pada Jokowi. Komunitas muslim tanah air yang selama ini berjarak dengannya semakin dekat. Ibaratnya, sekali Jokowi mendayung, dua pulau terlampaui.
Bisakah langkah ini berujung hadiah Nobel Perdamaian untuk Jokowi? Why not? Mengapa tak dicoba?
Oleh Denny JA, founder Lingkaran Survei Indonesia