Artikel ini ditulis oleh Achmad Nur Hidayat, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta.
Konflik tanah di Pulau Rempang telah memperlihatkan betapa rumitnya pertarungan antara hak asasi rakyat, ambisi bisnis swasta, dan dilema kepentingan pemerintah. Sebagai bangsa yang berdiri di atas prinsip keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, kita harus merenung: apakah kita telah memenuhi janji tersebut?
Sejarah mencatat bagaimana masyarakat adat Pulau Rempang, yang terdiri dari Suku Melayu, Suku Orang Laut, dan Suku Orang Darat, telah bermukim di pulau tersebut sejak 1834. Mereka bukanlah pendatang, melainkan bagian dari warisan budaya dan sejarah bangsa ini. Namun, ironisnya, mereka yang telah berakar kuat di tanah ini, kini terancam oleh kepentingan bisnis dan pemanfaatan tanah melalui HGU.
Sebagai seorang ekonom dan pengamat kebijakan publik, saya memahami pentingnya investasi dan pembangunan untuk pertumbuhan ekonomi. Namun, pertumbuhan ekonomi yang tidak memperhatikan hak-hak dasar rakyatnya adalah pertumbuhan yang cacat. Kita tidak bisa membangun negeri di atas penderitaan dan pengorbanan rakyat kecil.
Kasus Pulau Rempang adalah cerminan dari banyak kasus serupa di seluruh negeri ini, di mana rakyat kecil sering kali menjadi korban dari kepentingan bisnis dan politik. Pemberian HGU kepada pihak swasta tanpa memperhatikan hak-hak masyarakat lokal adalah bentuk ketidakadilan yang harus segera diatasi.
Saya menyayangkan sikap pemerintah yang cenderung memihak kepada investor dan mengabaikan hak-hak masyarakat. Seharusnya, pemerintah hadir sebagai mediator yang adil, bukan sebagai pihak yang menambah beban rakyatnya. Apalagi, ada indikasi kuat bahwa pemegang HGU telah melanggar ketentuan dengan tidak memanfaatkan tanah tersebut selama bertahun-tahun. Ini adalah kesempatan bagi pemerintah untuk menunjukkan komitmennya kepada rakyat dengan mencabut HGU tersebut dan memberikannya kembali kepada masyarakat adat.
Selain itu, tindakan represif yang dilakukan oleh aparat terhadap masyarakat adalah bentuk pengkhianatan terhadap prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi manusia. Sebagai bangsa yang beradab, kita harus menyelesaikan konflik dengan dialog dan musyawarah, bukan dengan kekerasan.
Saya mengajak seluruh elemen bangsa, baik pemerintah, swasta, maupun masyarakat, untuk bersama-sama mencari solusi terbaik bagi konflik tanah di Pulau Rempang. Mari kita tunjukkan kepada dunia bahwa kita adalah bangsa yang besar, yang mampu menyelesaikan masalah dengan bijaksana dan adil.
Sebagai penutup, saya ingin mengutip kata-kata Bung Karno: “Jangan sekali-kali melupakan sejarah (Jas Merah)”. Mari kita tidak melupakan sejarah dan perjuangan rakyat Pulau Rempang. Bangsa Indonesia seharusnya berjuang bersama mereka untuk keadilan dan kebenaran.
[***]