KedaiPena.Com – Konflik yang terjadi antara Rusia dan Ukraina merupakan bukti nyata bahwa nafsu imperialistik masih eksis hingga hari ini. Meski perang dingin sudah berlalu sejak 30 tahun lalu.
“Saya simpulkan konflik yang terjadi sekarang tidak lepas dari nafsu penguasaan teritori dan mempertahankan hegemoni,” ujar Sekretaris Jenderal Partai Rakyat Adil Makmur (PRIMA) Dominggus Oktavianus, Sabtu,(26/2/2022).
Dominggus menjelaskan, dalam melihat konflik antara Rusia dan Ukraina ini terdapat dua narasi yang berkembang. Pertama, Rusia telah melanggar hukum internasional dengan melakukan invasi ke dalam wilayah/teritori Ukraina. Narasi atau pandangan ini mewakili opini banyak kalangan dan media di Barat.
Kedua, lanjut dia, Rusia melakukan “operasi militer” untuk melindungi rakyat di dua republik yang baru memproklamirkan diri merdeka dari Ukraina, yaitu Donetsk dan Luhansk.
“Sebagaimana Krimea yang sudah lebih dahulu memisahkan diri, masyarakat di Donetsk dan Luhansk merasa lebih dekat dengan Rusia, baik secara politik maupun budaya,” ungkapnya.
Untuk informasi, Situasi di Ukraina memanas sejak demonstrasi Euromaidan yang memprotes keputusan Presiden Viktor Yanukovych menunda penandatanganan kesepakatan dengan Uni Eropa tahun 2013. Yanukovych mengakui bahwa keptusan tersebut dibuat atas tekanan Rusia.
Singkat cerita, di di tahun 2014 Yanukovich jatuh. Rusia menyebut peristiwa ini sebagai “Kudeta”, sementara media Barat menyebutnya “Revolusi Oranye”.
Menurut Dominggus, Ukraina tidak sungguh-sungguh indepen dalam menentukan nasibnya. Barat, khususnya Amerika Serikat, punya kepentingan untuk menariknya menjadi anggota NATO. Sementara Rusia merasa sudah cukup ekspansi NATO ke Eropa Timur sampai Hungaria, Rumania, Bulgaria, Polandia, Lithuania, Ceko dan Slowakia.
“Orang Ukraina di sebelah Barat cenderung pro-Barat, sedangkan Ukraina di sebelah timur cenderung pro-Rusia,” tuturnya.
Dominggus mengungkapkan, Bagi Rusia, Ukraina adalah titik penting menjaga keseimbangan geopolitik, meski tetap tidak imbang. Sebagaimana China bersikeras mempertahankan titik di Laut China Selatan.
“Kita tahu pesisir timur hingga ke selatan telah dijajari puluhan pangkalan militer AS masing-masing di Korea Selatan, Jepang, Filipina, Singapura, serta kerjasama militer dengan Taiwan,” jelasnya.
Sementara itu, Dominggus menyampaikan, opini yang berkembang di Indoneisa sebagian besar menaruh simpati kepada Rusia. Menurutnya, kemungkinan publik Indonesia merasa tindakan Presiden Rusia Vladimir Putin mewakili kebosanan pada dominasi dan superiortas Amerika Serikat.
“Saya amati konten yang berseliweran di Tiktok, komentar-komentar berita di Youtube, dsb., sebagian besar menaruh simpati pada Rusia. Sampai-sampai muncul istilah plesetan FPI (Fans Putin Indonesia),” tutupnya.
Laporan: Muhammad Lutfi