SEPANJANG pandemik Corona Virus Disease 2019 atau Covid-19 hingga April 2020 membuat kehidupan pemulung semakin menyedihkan. Nasib mereka, tergolong kelompok miskin dan rentan belum mendapat perhatian serius dari Pemerintah Pusat dan Daerah. Meskipun berbagai bantuan sudah disalurkan, terutama pada kalangan menengah atas di perkotaan.
Nasib yang mengenaskan lagi adalah pemulung pendatang. Nasib mereka dan keluarganya ditentukan untuk kemampuan dan nasib sendiri. Mereka itu dibilang sebagai perantau. Datang ke pembuangan sampah semata-mata mencari nafkah guna mempertahankan hidup.
Korban terinfeksi maupun mati akibat Covid-19 terus bertambah, terutama di Provinsi DKI Jakarta, Banten dan Jawa Barat. Ancaman Covid-19 akan berlangsung untuk beberapa bulan ke depan, menurut sejumlah prediksi. Ancaman ini pun menghantui penduduk bermukim di sekitar pembuangan sampah, merupakan area tercemar.
Pemerintah Pusat mengeluarkan berbagai kebijakan berkaitan dengan penanganan Covid-19 semestinya memprioritas nasib kehidupan orang miskin dan rentan, terutama pemulung, warga miskin, dan lain-lain di pinggiran kota dan desa-desa.
Policy mengenai percepatan penanganan Covid-19 harus berdasarkan hukum Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Salah satu pertimbangannya, bahwa penyebaran Covid-19 yang bersifat luar biasa dengan ditandai jumlah kasus dan/atau jumlah kematian telah meningkat dan meluas lintas wilayah dan lintas negara dan berdampak pada aspek politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan, serta kesejahteraaa masyarakat di Indonesia.
Setelah itu dikeluarkanlah Keputusan Presiden RI No. 11/2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Covid-19. Kemudian Peraturan Pemerintah RI No. 21/2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19.
Lalu, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.1/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Covid-19 dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.
Presiden Jokowi memberikan dana tambahan APBN 2020 sebesar Rp 405,1 triliun untuk membantu rakyat dalam situasi pandemi Covid-19, dengan rincian untuk bidang kesehatan Rp 75 triliun, bidang perlindungan sosial Rp 110 triliun, Rp 70,1 triliun untuk insentif perpajakan dan stimulus KUR (Kredit Usaha Rakyat), dan Rp 150 trilun untuk pemulihan ekonomi nasional.
Anggaran sebesar itu apakah pemulung, orang miskin dan lansia sekitar TPA/TPST akan kecipratan? Apakah para pemulung pendatang akan kebagian?
Dalam buku Potret Kehidupan Pemulung, Dalam Bayangan Kekuasaan dan Kemiskinan (Bagong Suyoto, 2015) diungkapkan, keberadaan 6.000 pemulung di TPST Bantargebang dan TPA Sumurbatu, apa pun pandangan pemerintah, telah memberikan kontribusi cukup konkret.
Mereka mereduksi sampah non-organik lebih dari 70% dari total sampah non-organik. Sampah non-organik menjadi urusan pemulung, tinggallah sampah organik yang belum tertangani. Pemulung bekerja dengan prinsip-prinsip 3R (reduce, reuse, recycle), seperti dikampanyekan banyak pihak. Ribuan pemulung sudah menikmati tambang emas hitam itu.
Mereka bermukim dan beranak pinak di sekitar kedua TPST/TPA tersebut. Separoh diantaranya adalah pemulung pendatang dari berbagai daerah di Indonesia, seperti Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Palembang, Lampung, Banten, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Kalimantan, Nusa Tenggara Barat, dan lain-lain. Mayoritas pemulung berasal dari Babelan, Kerawang, Subang, Indramayu, Cirebon, Jonggol, Banten, Madura.
Dari jumlah tersebut, sekitar 300-an orang mengais sampah di TPA Sumurbatu milik Pemerintah Kota Bekasi. Sebagian besar adalah penduduk asli. Dulu mereka bekerja di sektor pertanian, kerajinan rakyat, sektor informal, tukang ojek, dan lainnya. Belakangan karena aset produksi lenyap berpindah ke sektor persampahan, ada yang menjadi pemulung, kuli sortir/cuci plastik, pelapak skala kecil, dan lain-lain. Mereka telah menikmati berkah dari sampah.
Pemulung pendatang pada umumnya menempati gubuk-gubuk kardos, triplek, karung/terpal, seng bekas yang tersebar di Kelurahan Cikiwul, Ciketingudik, Sumurbatu Kecamatan Bantargebang, Kota Bekasi dan Desa Taman Rahyu Kecamatan Setu, Kabupaten Bekasi.
Kondisi gubuk-gubuk komunitas pemulung itu merupakan suatu panorama sangat mengenaskan bagi sebuah kehidupan dan peradaban. Permukiman mereka berada dalam lingkungan yang tercemar, kumuh, jorok, sangat bau dan sanitasinya sangat buruk.
Kondisi demikian diperparah adanya banjir. Sejumlah pemukiman pemulung menjadi langganan banjir ketika musim hujan tiba. Pertama, karena letaknya yang rendah, dulunya bekas galian tanah atau sawah tadah hujan. Kedua, tidak ada saluran air.
Eksistensi pemulung di sini sebagian besar dibawa para bos, seluruh hidup pemulung diabdikan padanya. Bos telah menyediakan tanah dan gubuk-gubuk sederaha, beras, uang makan/dapur, uang jajan anak-anak, dan lainnya. Semuanya diperhitungkan sebagai utang, yang harus diangsur dari hasil pungutan sampah.
Bos menerapkan sistem ijon atau rente minimal 10-20% per bulan atau lebih. Sistem ijon memberatkan dan menjerat leher pemulung. Nyaris sebagian besar pemulung terlilit utang dan terjerat rente. Sekarang yang populer ”bank emok”. Jahatnya riba. Maka riba itu haram hukumnya. Buahnya kemiskinan dan penderitaan yang semakin medalam.
Orang luar komunitas ini sering salah tafsir, bahwa pemulung tak perlu dibantu karena sudah mempunyai pendapatan besar. Hidup pemulung pas-pasan, untuk makan dan memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari saja sudah sangat berat. Keuntungan dari pungutan sampah tidak seberapa, ya, hanya cukup menambal kebutuhan sehari-hari. Bahkan banyak pemulung tak mampu menyekolahkan anak. Jika belum sakit parah tidak ke dokter.
Ada juga pemulung dan keluarga tidak bisa Idul Fitri atau lebaran di kampung, bahkan tak mampu beli daging atau ayam. Untung masih ada tetangga yang ingat, mengantar makanan dengan lauk daging.
Hampir semua pemulung di kawasan TPST/TPA hidup sangat sederhana dan tergantung pada bos-bos/pelapak. Mereka mendiami gubuk-gubuk dari bambu dan triplek bekas, kardos, seng, terpal bekas, karung bodol kumuh dan bau bacin.
Peralatan rumah tangga sangat sederhana, namun diantara pemulung mempunyai tv, tape recorder, cd player lengkap dengan salon stereo, dan elektronik lain standar murah. Peralatan elektronik seperti tv dan cd player menjadi pelengkap dan hiburan di saat para pemulung sedang penat dan lelah.
Bertahan Dalam Kubangan Sampah
Apa pun resiko, hambatan, ejekan dan julukan buruk yang dilekatkan pada pemulung tidak memberikan arti apa-apa terhadap eksistensinya? Cara dan perilaku hidup pemulung tetap berada dalam kubangan sampah. Bekerja, makan, istirahat, tidur ataupun bermain berada di antara sampah.
Hidup pemulung dipertaruhkan di hamparan sampah siang malam, tanpa mengenal lelah, tak mempedulikan rasa sakit serta ejekan orang lain. Seluruh keluarga dilibatkan menangani sampah.
Mereka tak mengenal istilah social distancing atau phsycal distancing. Bagi pemulung keranjang dan gerobaknya penuh dengan sampah hasil pungutan sudah sangat senang. Pulang membawa hasil sama artinya, esok masih ada matahari terbit.
Besok dapat memberikan makan diri dan keluarganya. Besok masih ada yang dijual, kemudian untuk mengangsur hutang pada bos atau warung, bisa membeli beras, ikan asin (ikan gesek), tempe, minyak goreng, minyak tanah. Juga menyediakan uang jajan anak-anaknya.
Sehari memperoleh 30 Kg sampah campuran (gabrugan), berarti mengantongi uang Rp 36.000. Harga sampah campuran Rp 1.200-1.400/Kg. Bahkan sekarang (April 2020) ketika wabah Corona menyerang harga jatuh hingga Rp 600/kg. Jika mengumpulkan plastik kresek 30 Kg, berarti meraih uang Rp 16.500, karena harga plastik kresek yang telah disobek/digibrik Rp 550/Kg.
Penghasilan pemulung tergantung pada jumlah sampah yang berhasil dipungut dan dibawa pulang. Kalau nasibnya baik, mungkin mendapat uang atau emas atau benda lain yang berharga. Penghasilan pemulung Rp 15.000 sampai Rp 40.000/hari, April 2020 meningkat menjadi Rp 35.000-50.000/hari. Cukuplah untuk hidup sehari bagi keluarga kecil, dengan menu makan sangat sederhana.
Sampah merupakan sisa aktivitas kehidupan manusia baik yang kaya maupun miskin memiliki makna, yakni uang dan penghidupan. Bagi kebanyakan orang berpandangan sampah adalah kotoran yang menjijikan tetapi bagi segelintir orang dan pemulung adalah uang. Sejak sampah berada di atas truk diburu, bahkan pemulung anak-anak pun berebut sampah itu. Berebut sampah bertambah seru ketika diturunkan ke zona aktif TPST/TPA.
Pemulung mengais sampah berdesak-desakan diantara truk-truk sampah, backhoe, buldozer dan alat berat lain. Mereka tidak mempedulikan sewaktu-waktu tubuhnya tergilas alat-alat berat. Belum lagi ancaman benda keras, seperti beling, paku, kawat, dan lain-lain.
Sepertinya tubuh dan nyawa pemulung telah menyatu dengan hamparan dan gunung sampah. Sejumlah pemulung memiliki keyakinan, bahwa dirinya sudah ”ditakdirkan” sebagai pengorek sampah. Musibah-musibah yang mengancamnya tak dirasakan, bahwa inilah jalan hidupnya. Sampah adalah hidup dan masa depan mereka.
Oleh Bagong Suyoto, Ketua Koalisi Persampahan Nasional (KPNas), Ketua Umum Asosiasi Pelapak dan Pemulung Indonesia (APPI), Dewan Pembina KAWALI Indonesia Lestari