Artikel ini ditulis oleh Hendrajit, Wartawan Senior dan Pengkaji Geopolitik.
Pagi netizen. Sekarang ngobrol sedikit tentang komunisme ya. Pada 1924 bapak komunisme Rusia Vladimir Ulyanov Lenin meninggal. Penggantinya, bertarunglah dua putra mahkota, Stalin dan Trotsky. Punya mahzab berbeda dalam menjabarkan marxisme/leninisme. Dan punya kepribadian bertolak belakang sebagai sosok pemimpin.
Pada kurun waktu itu, Cina belum jadi komunis, karena Mao Zhe Dong baru berhasil berkuasa pada 1949. Makanya ketika pada 1922 komunisme di Indonesia mulai menguat, dan bahkan menyusup ke Sarikat Islam, para kader komunis seperti Muso, Darsono dan Alimin, ketika mengklaim dirinya sebagai komunid pro Moskow, sebetulnya nggak jelas menganut garis politik Stalin atau Trotsky.
Dalam situasi demikian, seringkali di internal PKI sejak 1920an sering kebalik-balik dalam pemetaan ideologi maupun faksi politik.
Misal ketika PKI memutuskan melancarkan pemberontakan Prambanan 1926.maupun Madiun 1948, yang kebetulan para aktornya sama, bertumpu pada Muso-Alimin, mengaku sudah dapat restu Moskow. Yang berarti direstui Stalin. Tapi apa benar begitu?
Waktu saya baca buku karya George McTurnan Kahin, Nationalism and Revolution in Indonesia. Indonesianist generasi pertama itu menemukan sebuah dokumen yang mana Stalin mengecam kebijakan komunisme di Indonesia.
Dalam pidatonya pada 1925, berarti setahun sebelum meletusnya pemberontakan Prambanan Stalin berkata:
“Komunis di Jawa terlalu menilai tinggi potensi revolusioner dari gerakan pembebasan dan terlalu rendah menilai pentingnya aliansi antara kelas pekerja dan borjuis revolusioner dalam melawan imperialisme. Tampaknya, kaum Komunis Jawa mengidap penyimpangan ini, karena telah berbuat kekeliruan, yaitu mengibarkan slogan pemerintahan Soviet di negerinya sendiri.
Hal ini merupakan penyimpangan ke arah kiri, yang akan memencilkan Partai Komunis dari massa dan akan mengubahnya menjadi suatu sekte.
Para kader komunis Indonesia yang dalam masa pertumbuhan awalnya dibina para kader sosialis demokrat Belanda seperti Snevliet dan Bars, sama sekali tidak membaca dinamika internal di Soviet era Stalin.
Alhasil, para kader PKI seperti Alimin dan Muso, langsung menuding Tan Malaka sebagai kaum Trotsky ketika menentang keputusan Alimin dan Muso berontak pada 1926.
Tan menentang karena dipandang belum matang. Artinya, Tan dalam hal menilai garis politik dan strategi yang ditempuh Alimin-Muso sejatinya justru menganut garis Trotsky, yang beroposisi dan berseberangan dengan garis Stalin.
Namun Alimin dan Muso, ibarat maling teriak maling, mencap Tan sebagai Trotsky. Hanya karena mereka beranggapan pemberontakan Prambanan 1948 sudah direstui Moskow. Sehingga karena Tan menentang, berarti Tan itu Trotsky. Padahal kalau baca pidato Stalin yang dikutip Kahin tadi, Moskow justru menentang. Bahkan Stalin menggunakan istilah penyimpangan ke kiri.
Ternyata bukan saja kelompok – kelompok Islam saja yang sering jadi korban False Flag Operation. Melainkan juga para kader komunis yang katanya hebat-hebat itu. Menyangka bekerja sama dengan sekutu, eh belakangan nyadar telah kerjasama dengan musuh.
Ketika Alimin dan Muso menuding Tan Malaka Trotsky, padahal justru Alimin dan Muso itu yang menganut garis politik dan strateginya Trotsky.
Lantas apa ciri khas kaum Trotsky itu? Nah Tan sendiri rupanya malah tahu sekali ciri khas buruk kaum Trotsky:
1. Kaum kiri yang umumnya orang orangnya besar mulut. Orang sekarang bilang Omdo. Omong doang. Nggak ada action-nya.
2.Orang orangnya tidak punya ketetapan hati dalam berpolitik. Tidak istiqomah. Mudah terombang ambing oleh kejadian.
3. Meski di permukaan galak, radikal, namun dalam kebijakan yang diambil, seringkali malah menguntungkan kapitalisme. Alhasil malah masuk dalam skema kapitalisme global.
4. Dan yang paling fatal, kata Tan, kaum Trotsky itu hakekatnya nggak percaya terhadap kemampuan sosialisme untuk mengalahkan kemahakuasaan kapitalisme.
Buat Tan, model begini ini merupakan penghianatan terhadap perjuangan sosialisme. Justru atas dasar itulah Tan kemudian mendesak para founding fathers kita, termasuk Presiden Sukarno, agar ketika mulai berunding dengan Belanda, bertumpu pada prinsip MERDEKA 100 PERSEN.
[***]