PADA sisi yang lain, meskipun banyak pihak yang memperebutkan sampah Jakarta, sesungguhnya Pemprov DKI Jakarta dalam mengelola sampah mempraktekkan kebijakan monopili dan sentralistik serta bergantung pada lokasi TPA di luar Jakarta, seperti TPA Bantargebang Bekasi.
Membuang sampah warga Jakarta ke daerah kota lain seperti ke TPA Bantargebang Bekasi yag selama ini jalankan, sangatlah tidak bertanggung jawab, tidak berkelanjutan, dan berpotensi melanggar HAM.
Walaupun lahan TPA Bantargebang sudah milik Pemprov DKI Jakarta, tetapi secara administerasi, TPA Bantargebang tetap dan masih berada dalam wilayah Bekasi, Jawa Barat. Hal ini harus menjadi perhatian serius, baik pemerintah Bekasi ataupun Pemprov Jawa Barat sebagai upaya melindungi warganya dari ancaman kesehatan dan keselamatan jiwa.
Memberikan uang kompensasi atau istilah “uang bau” kepada warga sekitar yang terdampak, yang diberikan oleh Pemprov DKI Jakarta bukanlah solusi tepat dan berkelanjutan. Sebab, uang yang diterima warga terdampak tidak sebanding dengan rendahnya kualitas hidup mereka serta ancaman kesehatan dan keselamatan jiwa serta perkembangan anak cucu yang juga sebagai generasi penerus bangsa.
Setiap provinsi ataupun kota, bagaimana pun harus bertanggung jawab terhadap sampah yang dihasilkannya, dan bukan membuang “melempar” ke kota tetangga. Kebijakan seperti itu dapat diibaratkan kita membersihkan sampah di rumah lalu membuangnya ke rumah tetangga sebelah. Rumah kita bersih, tidak peduli rumah tetangga sebelah tercemar.
Dalam hal wewenang dan tanggung jawab lainnya, meskipun Pemprov DKI Jakarta telah menyerahkan urusan mengelola sampah bekerja sama dengan swasta PT Godang Tua Jaya (PT GTJ) dan PT Navigate Organic Energy (PT NOEI) di TPA Bantargebang, namun Pemprov DKI Jakarta maupun pihak pengelola swasta tidak serius dalam penanganan bersama. Baik Pemprov DKI Jakarta maupun PT GTJ dan PT NOEI, telah melakukan wanprestasi.
Pihak PT GTJ dan PT NOEI tidak mampu mengelola sampah menjadi energi ramah lingkungan dan berkelanjutan. Sementara Pemprov DKI Jakarta, mengirim sampah melebihi kapasitas yang mampu ditangani pengelola (kapasitas 2.000 ton per hari, dikirim 6.500 ton per hari), serta membayar jasa pengolahan sampah atau tipping fee relatif murah (Rp114 ribu per ton).
Pemutusan kontrak kerjasama oleh Pemprov DKI Jakarta terhadap PT GTJ dan PT NOEI sebagai pengelola TPA bantargebang pada Juli 2016 lalu yang dianggap wanprestasi, mesti dilihat secara obyektif dan adil.
Terlepas dari persoalan hukum antara Pemprov DKI Jakarta dan PT GTJ dan PT NOEI, Pemprov DKI Jakarta harus fokus merencanakan dan membuat desain TPA dalam kota di lima kotamadya se-DKI Jakarta, agar mengurangi ketergantungan kepada Bekasi dan sebagai bentuk tanggung jawab dalam mengelola sampah di rumah sendiri (swakelola).
Selain fokus merencanakan dan membuat lima TPA dalam kota, Pemprov DKI Jakarta harus merestorasi TPA Bantargebang semisal diawali dengan membuat green belt atau buffer zone mengelilingi seluruh kawasan TPA Bantargebang.
Pada 22 Juni 2016, Jakarta telah berumur 489 tahun. Dalam perkembangan peradaban kemajuan manusia, terkhusus teknologi, diusia tersebut Pemprov DKI Jakarta semestinya sudah matang dalam mengurusi persampahan, terlebih menjadi contoh dan barometer kota-kota se-Indonesia bahkan mungkin dunia. Sehingga, tidaklah berlebihan mengatakan, jika Pemprov DKI Jakarta mengurus sampah saja gagal bagaimana bisa mengurus permasalahan lainya.
Dan nyatanya, hingga kini diusia kota Jakarta yang ke-489 tahun, dalam menangani dan mengelola sampah Pemprov DKI Jakarta masih menerapkan paradigma lama dan konvensional. Yakni, kumpul-angkut-buang-kumpul-angkut-buang dan berakhir di TPA Bantargebang dengan ditumpuk secara terbuka.
Disamping pola penanganan sampah yang hanya mengedepankan kumpul-angkut-buang, secara obyektif Pemprov DKI Jakarta perlu mendapat apresiasi sebagai sebuah langkah kemajuan bahwa setidaknya dalam dua tahun terakhir dengan anggaran yang besar, Pemprov DKI Jakarta bisa mempekerjakan dan memobilisasi ribuan “pasukan oranye” petugas kebersihan atau pekerja harian lepas (PHL) dalam bembersihkan sampah Jakarta hingga ke sudut kota.
Hanya saja Pemprov DKI Jakarta tetap mengedepankan pola penanganan sampah kumpul-angkut-buang. Sampah asal terangkut demi citra “Jakarta bersih”, tidak peduli daya dukung lingkungan dan daya tampung di TPA bantargebang.
Sampah Jakarta sebagaimana dalam pemetaan (Saprof 2010), tercatat 55 persen adalah jenis sampah organik dan 45 persen merupakan sampah jenis anorganik. Sementara sumber sampah dalam setiap wilayah kotamadya, 14,8 persen Jakarta Pusat, 19,5 persen Jakarta Barat, 25 persen Jakarta Timur, 25,7 persen Jakarta Selatan, dan 15 persen Jakarta Utara.
Lebih spesifik, berdasarkan sumbernya antara lain 52,97 persen dari pemukiman, 8,97 persen industri, 27,35 persen perkantoran, empat persen pasar, 5,32 persen lembaga pendidikan, dan 1,4 persen dari lain-lain.
Dalam mengidentifikasi masalah sampah Jakarta secara umum, sederhananya telah diketahui, bahwa volume sampah di Jakarta saat ini mencapai 7.000 ton per hari. Karakteristik sampah secara umum terbagi menjadi tiga jenis, organik, anorganik, dan limbah beracun berbahaya (B3).
Demikian pula dengan sumber-sumbernya yang sebagian besar dari pemukiman, pasar, industri, perkantoran, taman/jalan, dan lainya.
Jika pemetaan atas kondisi masalah sampah Jakarta secara umum dan khusus telah diketahui sebagaimana tersebut, maka yang akan muncul kemudian adalah pertanyaan kunci, mau diapakan sampah itu? Dibuat komposkah, mau dihabiskankah, mau didaur ulangkah, mau dimanfaatkan menjadi energi alternatifkah, atau apa?
Kenyataanya, hingga saat ini pengelolaan sampah masih menggunakan metode penimbunan secara terbuka (open dumping), membiarkan gas methana, dan air lindi mencemari lingkungan. Pembuangan sampah secara terbuka di tempat pembuangan akhir (TPA) sampah mengakibatkan sampah organik yang tertimbun mengalami dekomposisi secara anaerobik, proses itu menghasilkan gas methana (CH4).
CH4 yang dihasilkan pada timbunan sampah dilokasi TPA telah menyumbang 20-30 kali lebih besar daripada karbon dioksida (CO2) yang merupakan pembentuk emisi gas rumah kaca (GRK), penyebab meningkatnya suhu bumi atau yang biasa disebut dengan istilah pemanasan global (global warming).
Sampah menghasilkan gas metana (CH4) dengan komposisi rata-rata tiap satu ton sampah padat menghasilkan 50 kg gas methana. Artinya, jika Jakarta menghasilkan sampah 7.000 ton per hari, sama dengan menghasilkan gas methana 350 ton per hari atau 127.750 ton per tahun. Gas methana akan berada di atmosfer dalam jangka waktu sekitar 7-10 tahun dan dapat meningkatkan suhu sekitar 1,3 derajat Celsius per tahun.
Dalam isu perubahan iklim, sektor persampahan harus menjadi perhatian khusus Pemprov DKI Jakarta dan pemerintah pusat, karena selain menyumbang emisi yang besar, Pemprov DKI Jakarta juga berjanji menurunkan emisi sampai dengan 30 persen hingga tahun 2030 dan komitmen pemerintah pusat 26 persen secara nasional sebagai tindakan upaya dalam menjaga kenaikan temperatur udara di bawah 2 derajat celcius atau maksimal 1,5 derajat celcius, yang disampaikan pada Konferensi Perubahan Iklim PBB (United Nations Framework Convention on Climate Change/UNFCCC) atau yang disebut Conference of The Parties (COP) ke-15 di Copenhagen Denmark pada Desember 2009, dan komitmen tindakan adaptasi terhadap perubahan iklim pemerintah pada COP ke-21 di Paris Perancis pada Desember 2015.
Para pakar atau ilmuan perubahan iklim menyatakan, kenaikan temperatur bumi lebih dari 2 derajat Celcius akan menyebabkan kerusakan tata kehidupan mahluk hidup dan menimbulkan berbagai bencana di muka bumi. Bencana alam, kekeringan, erosi, hama penyakit, banjir, dan tenggelamnya pulau-pulau kecil yang diakibatkan kenaikan permukaan air laut akibat mencairnya es di kutub, merupakan ancaman serius dari perubahan iklim.
Oleh Ubaidillah, Pengamat Lingkungan Perkotaan