KedaiPena.Com – Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Choirul Anam meminta agar pengesahan Rancangan Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) ditunda oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Pasalnya, kata Choirul Anam,
terhadap sejumlah pasal-pasal dalam RKUHP yang masih bermasalah sehingga berakibat pada penegakan norma hukum di Indonesia.
“Komnas HAM memberikan pandangan terkait tindak pidana pelanggaran HAM berat, catatan kritis terhadap pemidanaan, mempertanyakan frasa yang menimbulkan ketidakpastian hukum, serta penerapan fungsi hukum pidana ultimum remidium yang kurang tepat,” ujar dia di kantor Komnas HAM, Kamis, (19/9/2019).
Choirul Anam menjelaskan, dalam polemik Buku Kesatu yang banyak menafikan prinsip-prinsip HAM, Komnas HAM berpandangan bahwa Pasal 187 RKUHP tidak boleh ditafsirkan lain kecuali yang tertulis dalam pasal tersebut.
“Pasal 187 RKUHP menyatakan bahwa ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab V Buku Kesatu berlaku juga bagi perbuatan yang dapat dipidana menurut peraturan perundang-undangan lain, kecuali ditentukan lain menurut undang-undang,” tegas dia.
Choirul Anam melanjutkan, konsekuensi dari pasal ini berkaitan dengan Bab Tindak Pidana Khusus bahwa RKUHP tidak mengurangi adanya kewenangan lembaga-lembaga pendukung penegakan hukum yang sudah ditentukan dalam undang-undangnya.
“Artinya aturan yang ada di RKUHP tidak berlaku sepanjang sudah diatur dalam undang-undang tersendiri,” papar dia.
Tidak hanya itu, Choirul Anam, menjelaskan, paradigma RKUHP berbeda dengan prinsip HAM menurut hukum internasional. Misalnya, dalam konvensi pelanggaran HAM berat, kejahatan diproduksi oleh kekuasaan/kebijakan yang korbannya adalah masyarakat sipil.
“Hal ini disebut sebagai the most serious crime di mana yang diatur dalam RKUHP adalah genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Element of crime dari pelanggaran HAM berat tersebut tidak bisa disamakan dengan kejahatan biasa karena harus ada pertanggungjawaban dari pembuat kebijakan,” tegas dia.
Oleh karena itu, tegas Choirul Anam, pemidanaan pelanggaran HAM berat tidak bisa disamakan dengan pemidanaan pada tindak pidana biasa.
“Dalam beberapa konteks RKUHP belum bisa memberikan kepastian hukum karena adanya frasa-frasa yang menimbulkan multitafsir atau masih adanya ruang yang tidak memungkinkan diberikanya kepastian hukum,” ungkap dia.
Choirul Anam mengungkapkan, frasa-frasa dalam delik-delik keagamaan yakni terkait “perasaan” dan ‘menimbulkan kegaduhan” dan frasa dalam living law juga menjadi sorotan bagi pihaknya.
“Penerapan fungsi hukum pidana “ultimum remidium” dalam RKUHP masih kurang tepat dalam beberapa pasal. Banyak persoalan sosial yang seharusnya dapat menggunakan penghukuman lain yang mampu menyelesaikan konflik, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat justru dikenakan sanksi pidana,” beber dia.
Choirul Anam menegaskan, hal itu juga bertolak belakang terhadap beberapa jenis tindak pidana terkait pelanggaran ham berat, korupsi, narkotika, terorisme, dan pencucian uang yang justru mengalami pengurangan pemidanaan.
Diketahui, Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat menyepakati Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKHUP) alam rapat pengambilan keputusan tingkat I hari ini, rabu, (18/9/2019).
Dengan demikian, RUU KUHP tinggal disahkan dalam rapat paripurna DPR pada tanggal (24/9/2019).
Laporan: Muhammad Lutfi