KedaiPena.com – Ramainya pro dan kontra terkait akan disahkannya RKUHP, Salah satunya didasari oleh tidak dibukanya draft RKUHP kepada publik. Ditenggarai, Salah satu penyebabnya adalah upaya untuk menutupi beberapa pasal yang diperkirakan akan memicu reaksi keras dari berbagai pihak.
Anggota Panja RKUHP, Nasir Djamil menegaskan bahwa tidak ada yang dirahasiakan dalam proses perubahan KUHP.
“Perubahan ini sebenarnya sudah dimulai dibahas sejak periode yang lalu dan diharapkan banyak pihak. Dan sudah melibatkan partisipasi publik dengan dilakukannya dengan bertemu para ahli, akademisi hingga pegiat yang memiliki peminatan pada produk hukum tersebut,” kata Nasir dalam salah satu acara diskusi, ditulis, Sabtu (2/7/2022).
Saat ada pro kontra pada beberapa pasal, lanjutnya, akhirnya pemerintah, dalam hal ini presiden, tidak jadi mengesahkan RKUHP ini.
“Karena sejak tahun 2019 hingga saat ini tidak ada jawaban dari pemerintah, maka Komisi III berinisiatif untuk memanggil Kemenkumham, yang waktu itu dihadiri oleh wamennya,” ucapnya.
Saat dipertanyakan sikap pemerintah atas beberapa pasal yang kontroversi, Nasir menyebutkan wamen menjelaskan bahwa tidak ada keberatan dari pihak pemerintah.
“Akhirnya, pemimpin Komisi III menyatakan akan menyelesaikan RKHUP pada periode ini, yang tanggalnya adalah 7 Juli 2022. Lalu, mengirimkan surat kepada pimpinan DPR untuk mengesahkan pada rapat paripurna,” ucapnya lagi.
Terkait draft RKUHP, ia menyebutkan tidak ada perubahan yang terjadi pada dokumen RKUHP, karena saat dikonfirmasi dengan pemerintah dinyatakan tak ada keberatan.
“Jadi seharusnya pemerintah lah yang membuka akses draft RKUHP, termasuk pasal kontroversi, walaupun tak ada perubahan yang terjadi,” tandasnya.
Khusus pasal terkait penghinaan pejabat publik, Nasir menjelaskan pemerintah menyatakan masih membutuhkan pasal tersebut.
“Alasannya adalah demokrasi di Indonesia ini berbeda dengan demokrasi negara barat. Demokrasi yang kita anut adalah demokrasi Pancasila, dimana menganut gotong royong dan kekeluargaan. Kultur Indonesia adalah menghormati para pemimpin dan penuh adat ketimuran,” kata Nasir.
Ia menyatakan, DPR telah meminta kepada pemerintah untuk memberikan batasan pada frasa penghinaan pejabat.
“Saat pembahasan itu tidak fokus pada delik umum atau aduan. Kita fokusnya pada penghinaan itu seperti apa. Karena penghinaan dan kritik itu bedanya tipis. Sehingga perlu ada batasan penghinaan itu apa,” pungkas Anggota Komisi III DPR RI Fraksi PKS ini.
Laporan: Ranny Supusepa