Artikel ini ditulis oleh Agus Zaini, Co-Founder Cakra Manggilingan Institute.
Agenda strategis konstestasi kepemimpinan pasca-Pemilihan Presiden dan Legislatif adalah Pemilihan Kepala Daerah secara serentak pada November 2024. Perhelatan proses demokrasi tingkat daerah yang praktis hanya memerlukan waktu kurang dari setahun tersebut dipastikan kembali menguras konsentrasi semua partai politik yang berlaga.
Pemenuhan kepentingan politik lima tahun nanti sangat dipengaruhi oleh strategi pengelolaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024. Dengan kata lain, Pilkada 2024 dapat dianggap sebagai investasi politik penting untuk kebutuhan politik pada kontestasi 2029.
Provinsi Jawa Tengah menjadi daerah penting dalam formasi politik nasional. Pemilihan Gubernur Jawa Tengah menjadi menarik, karena selain memiliki jumlah pemilih yang sangat besar, Jawa Tengah berada pada posisi strategis di antara Jawa Barat, Jawa Timur, dan Yogyakarta. Corak merah, yakni karakter kaum Nasionalis, dan hijau, yaitu warga Nahdliyin, berkelindan membentuk spektrum politik Jawa Tengah.
Para Kandidat
Berdasarkan hasil penetapan rekapitulasi Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jawa Tengah, PDI Perjuangan masih mendominasi perolehan dukungan dengan meraih 33 kursi atau 27,5 persen, disusul PKB dengan 20 kursi atau 16,66 persen.
Pada posisi selanjutnya, diduduki Gerindra dan Golkar yang memiliki jumlah kursi sama, yakni 17 atau 14,16 persen, kemudian PKS dengan 11 kursi atau 9,16 persen, Partai Demokrat 7 kursi atau 5,83 persen, PPP 6 kursi atau 5 persen, PAN 4 kursi atau 3,33 persen, Partai Nasdem 3 kursi atau 2,5 persen, dan partai pendatang baru, PSI yang meraih 2 kursi atau 1,6 persen.
Walaupun PDI Perjuangan masih menjadi partai dengan raihan kursi legislatif terbanyak, namun jumlahnya mengalami penurunan bila dibandingkan dengan Pemilu sebelumnya. Pada Pemilihan Legislatif 2019, PDI Perjuangan berhasil meraih 42 kursi, atau selisih 9 kursi dibandingkan dengan Pemilihan Legislatif 2024.
Berkurangnya jumlah kursi legislatif yang diraih menjadi bukti nyata bahwa PDI Perjuangan gagal melakukan konsolidasi politik di Jawa Tengah. Sosok Ganjar Pranowo yang menjadi andalan PDI Perjuangan sebagai Calon Presiden ternyata tidak memberikan dampak positif.
Keberadaan Ganjar sebagai figur sentral di Jawa Tengah, dengan bermodalkan reputasi kepemimpinannya selama 10 tahun menjabat Gubernur Jawa Tengah, tidak membawa pengaruh signifikan. Bahkan bisa dikatakan, justru merugikan eksistensi politik PDI Perjuangan.
Belajar dari Pilpres 2024, PDI Perjuangan harus jeli dalam memilih figur yang akan diusung dalam Pilkada 2024. Reputasi seorang calon pemimpin memiliki arti penting untuk memastikan mesin politik partai dapat berjalan maksimal, ditambah dukungan publik dalam arti luas.
Ada dua nama kader PDI Perjuangan yang diproyeksikan muncul dalam Pemilihan Gubernur Jawa Tengah, yaitu Bambang Wuryanto atau akrab dipanggil ‘Bambang Pacul’ yang saat ini menjabat Ketua Komisi III DPR RI, serta mantan Wali Kota Semarang, Hendrar Prihadi yang sejak tanggal 10 Oktober 2022 menjabat Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP).
Di antara dua calon tersebut, Bambang Pacul dianggap memiliki akar kuat di basis pemilih Jawa Tengah. Namun, tradisi politik di lingkungan PDI Perjuangan masih sangat bergantung pada Ketua Umum, sehingga penentuan akhir untuk memastikan siapa figur yang akan diusung PDI Perjuangan dalam Pilkada Provinsi Jawa Tengah tetap ada di tangan Megawati Soekarnoputri.
PKB sebagai pemilik kursi legislatif terbanyak kedua di Jawa Tengah juga memiliki potensi besar untuk mengusung Calon Gubernur Jawa Tengah. Nama Yusuf Chudlari atau populer disapa Gus Yusuf masih menjadi figur utama di lingkungan PKB.
Namun itu pun tergantung konstelasi politik di tingkat pusat; apakah Pimpinan Pusat PKB mau mengikhlaskan tokoh lokal dalam perhelatan Pilkada, atau justru memunculkan kader PKB di tingkat pusat, misalnya figur Hanif Dhakiri, Abdul Kadir Karding, atau nama kader lain yang semua keputusannya masih tergantung suasana kebatinan Cak Imin, selaku Ketua Umum PKB.
Sementara itu, di Partai Golkar ada nama mantan Bupati Kararanganyar, Juliyatmono, serta Bupati Kendal, Dico Ganindito. Selain itu, Nusron Wahid yang memiliki reputasi di tingkat nasional. Banyak pilihan dari Partai Golkar membutuhkan pertimbangan strategis untuk memastikan figur mana yang layak diusung.
Partai Gerindra Jawa Tengah telah memastikan nama kader utamanya yang akan dimunculkan sebagai kandidat Calon Gubernur Jawa Tengah. Nama Sudaryono cukup kencang disebut-sebut sebagai kandidat utama. Sebagai tokoh muda yang memimpin Partai Gerindra Jawa Tengah kabarnya cukup dekat dengan Prabowo. Mas Dar, panggilan akrabnya, tampak sangat percaya diri untuk maju sebagai Calon Gubernur Jawa tengah.
Di luar kader partai politik, ada beberapa nama yang muncul dalam bursa calon Gubernur Jawa Tengah, antara lain Irjen Ahmad Luthfi, seorang perwira tinggi Polri yang sejak 1 Mei 2020 hingga saat ini masih menjabat sebagai Kapolda Jawa Tengah.
Ada pula nama Taj Yasin Maimoen, putra almarhum KH Maimoen Zubair, mantan Wakil Gubernur Jawa Tengah yang sukses terpilih sebagai anggota DPD RI dengan meraih suara 3.821.699.
Di kalangan figur muda, ada nama Kuat Hermawan Santoso yang masuk dalam bursa kandidat Gubernur Jawa Tengah. Koordinator Nasional Relawan Bolone Mase ini berhasil membangun jaringan basis politik di Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, DKI Jakarta, Lampung, Jambi, dan beberapa wilayah di Indonesia bagian timur.
Sebagai relawan yang melekat dengan figur Gibran Rakabuming Raka, Bolone Mase mampu bergerak total secara sistematis dan masif pada Pilpres 2024 yang lalu. Jejaring relawannya bergerak hingga di tingkat RW dan RT untuk mengawal suara bagi pasangan Prabowo-Gibran.
Kombinasi Nasionalis dan Nahdliyin
Kontestasi Pilgub Jawa Tengah mensyaratkan dukungan minimal 20 persen dari jumlah total kursi DPRD Provinsi Jawa Tengah. Berarti pasangan Cagub-Cawagub harus diusung oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memiliki minimal 24 kursi DPRD Provinsi Jawa Tengah.
Dengan syarat tersebut maka hanya PDI Perjuangan yang dapat secara murni mengusung pasangan calon. Sementara partai lainnya masih harus berusaha untuk menggandeng mitra koalisi agar dapat memenuhi syarat minimal.
Secara administrasi formal, PDI Perjuangan memiliki peluang besar untuk mengusung kadernya. Namun, PDI Perjuangan tentu bukan sekadar mengusung pasangan calon dalam Pilkada, tetapi target meraih kemenangan tentu menjadi tujuan utama.
Begitu pula dengan partai-partai lain yang sudah mulai berhitung dan mengatur strategi agar dapat mitra koalisi yang tepat dan figur mumpuni untuk diusung sebagai kandidatnya.
Mencermati karakter pemilih Jawa Tengah, kombinasi calon berbasis Nasionalis dengan calon berbasis Nahdliyin menjadi mutlak dipertimbangkan. Kombinasi faksi ‘merah’ dan ‘hijau’ tersebut menjadi kunci kemenangan Pilkada Jawa Tengah. Tentunya dengan ditopang mesin politik yang bisa bekerja secara terstruktur, sistematis, dan masif.
PDI Perjuangan secara kalkulasi dapat memimpin dinamika kontestasi. Meski demikian, kesalahan orkestrasi dukungan semasa kepemimpinan Ganjar Pranowo sebagai rekam jejak penting telanjur menjadi memori kolektif. PDI Perjuangan harus mampu meyakinkan publik Jawa Tengah bahwa kepemimpinan yang akan dilakoni nanti tidak lagi sama. Mitra koalisi menjadi strategis untuk itu. Bisa jadi dengan penguatan karakter muda.
[***]