KedaiPena.Com – Ada dua peristiwa yang mengganggu rasa kemanusiaan terkait Pemilu 2019. Pertama adalah jatuhnya ratusan korban meninggal petugas KPPS. Yang kedua adalah tewasnya 10 anak bangsa pada tragedi kekerasan 21-22 Mei 2019. Tragisnya, 10 orang itu divonis dengan tuduhan perusuh oleh Pemerintah.
Koordinator Aksi Bersama Mahasiswa dan Rakyat di depan Kampus ITB AD, Tangerang Selatan, Surya Hakim menegaskan, menolak lupa terhadap segala bentuk tragedi kemanusian yang telah terjadi.
“Keterangan Presiden di TV dalam hal pembentukan TGPF peristiwa 21-22 Mei 2019 yaitu ‘kasus yang berkaitan meninggalnya yang perusuh-perusuh di lokasi kerusuhan’ menunjukan Presiden absen dan lalai pada konstitusi dan undang-undang,” tegas aktivis Konsolidasi Mahasiswa Nasional Indonesia (Komando) itu di sela aksi bersama, Kamis (20/6/2019).
Adapun, konstitusi yang dimaksud adalah UUD 1945 Bab XA tentang
Hak Asasi Manusia. Dalam pasal 28 B (2) ditegaskan; ‘Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi’.
Lalu pada pasal 28 G (2) disebutkan; ‘setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia.
“Kemudian pada UU No. 5 tahun 1998 Konvensi Anti Penyiksaan disebutkan, menentang penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia,” lanjut mahasiswa Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) itu.
Oleh karenanya, Hogay mendesak Pemerintah untuk menghentikan narasi kerusuhan, karena yang terjadi merupakan tragedi kemanusian.
“Kami pun mendesak untuk dibentuk Tim Independen dalam mengungkap Tragedi Kemanusian 21-22 Mei 2019. Selain itu, sebagai negara hukum azas praduga tidak bersalah adalah komponen hukum, maka hentikan narasi makar selama ketetapan keputusan pengadilan belum dinyatakan karana narasi makar telah menjadi teror bagi demokrasi,” tandas dia.
Laporan: Andre Pradana