KedaiPena.com – Kolaborasi pelaku industri dan institusi pendidikan dinyatakan akan mampu menciptakan sumber daya entrepreneur, yang tidak hanya memiliki jiwa sosial tapi juga memiliki penguasaan teknologi. Sehingga, akan terbangun suatu ekosistem usaha yang akan mampu menyokong perekonomian nasional.
Direktur Bisnis Bank Banten Cendria Tj. Tasdik menyatakan perbankan memiliki dua fungsi, yaitu mendorong nilai ekonomi sebagai tuntutan pemegang saham maupun pemiliki dan mendorong nilai sosial.
“Nilai sosial ini umumnya akan diejawantahkan dengan corporate social value. Atau yang dikenal dengan program corporate social responsibility atau CSR, yang kedepannya menjembatani berbagai hal atau kendala dalam menciptakan UMKM baru secara aktif langsung dalam hal teknis,” kata Cendria dalam talkshow Bank Banten Goes to Pesantren, ditulis Minggu (28/11/2021).
Dalam hal ini, lanjutnya, tidak hanya tutorial tapi juga pendampingan untuk mempersiapkan para santriwan santriwati untuk menghadapi tantangan persaingan global di era digitalisasi.
“Sehingga para santriwan santriwati ini akan menjadi pengusaha yang bankable. Jadi bukan hanya pinjaman modal tapi suatu sistem penciptaan sumber daya entrepreneur baru, yang meberi manfaat bagi lingkungannya,” urainya.
Ia menjelaskan upaya Bank Banten untuk melakukan edukasi di perguruan tinggi, pesantren maupun komunitas merupakan bagian dari penciptaan ekosistem keuangan perbankan yang mendorong perekonomian daerah Banten.
“Penerima pinjaman yang bertanggungjawab adalah mereka yang usahanya sudah terlegalisir, sudah memahami cara pembuatan laporan keuangan yang komprehensif dan tidak memiliki catatan negatif di Bank Indonesia. Tiga poin ini lah yang kami bantu untuk menjembatani tanpa menabrak aturan yang ada, terutama bagi para pelaku baru,” tandasnya.
Dewan Mudir PonPes MBS KBH, KH. Ahsin Abdul Wahab, MA, menyampaikan pesantren tumbuh dari tempat pembelajaran ilmu agama yang dikelola oleh ulama.
“Tapi dengan berkembangnya zaman, pesantren pun tumbuh menjadi institusi pendidikan. Bukan hanya agama tapi juga keilmuan lainnya. Dan saat ini, juga didorong untuk menciptakan entrepreneur,” kata Ahsin.
Bukan hanya pelaku usaha biasa tapi seorang pelaku usaha yang mandiri, memiliki jiwa sosial dan memiliki penguasaan teknologi.
“Dan ini membutuhkan bukan hanya pembimbingan para santriwan santriwati tapi juga perubahan paradigma pola pikir. Dari dulunya, yang kalau lulus sekolah akan jadi pegawai. Saat ini lulus sekolah, menjadi pembuka usaha,” ucapnya.
Pesantren pun nenjalin kerja sama dengan berbagai pihak, baik pihak akademisi maupun pihak industri, untuk memperkenalkan kepada santri tentang dunia usaha.
“Literasi usaha ini kami lakukan dengan menggandeng pelaku industri, disini Bank Banten dan pihak akademisinya adalah ITB Ahmad Dahlan. Agar para santri terbuka pemikirannya dan melihat peluang yang bisa dilakukan oleh mereka,” tandasnya.
Sebagai perwakilan dari pihak pendidikan tinggi, Rektor ITB Ahmad Dahlan, Dr. Mukhaer Pakkanna, SE, MM, menjelaskan dengan menciptakan socioteknopreneur merupakan bagian dari menciptakan generasi unggul.
“Pesantren merupakan entitas yang bukan hanya instansi pendidikan ilmu agama tapi juga perilaku sosial dan keilmuan alat,” kata Mukhaer dalam kesempatan yang sama.
Membentuk santripreneur artinya membentuk jiwa pedagang yang memiliki nilai sosial dalam perilaku perdagangannya.
“Dan dukungan teknologi akan menjadikan santripreneur atau sociopreneur akan menjadi pelaku usaha yang memiliki nilai sosial, mandiri dalam usaha dan literasi teknologi,” urainya.
Untuk membentuk socioteknopreneur inilah, lanjutnya, kampus harus inklusf dan berinteraksi dengan sektor lainnya.
“Dalam hal ini pesantren, industri usaha atau bidang lainnya yang mana akan meningkatkan literasi kampus, dalam hal ini para mahasiswanya dan sekaligus meningkatkan kontribusi pada masyarakat secara umum dalam menciptkan sumber daya manusia yang kedepannya akan menjadi socioteknepreneur,” urainya lagi.
Hal ini didukung pemerintah dengan adanya program Merdeka Belajar Kampus Merdeka, yang bersifat sosial.
“Ada banyak pilihan, magang, kerja sosial untuk penanganan dampak bencana, inovasi, riset maupun mengajar. Jadi selama 3 semester, para mahasiswa akan belajar sekaligus berkontribusi atau menjalankan aksi sosial. Dan ini akan dikonversi pada SKS mereka,” tandasnya.
Laporan: Natasha