DALAM kasus korupsi PT Garuda Indonesia dan dugaan korupsi Rumah Sakit Sumber Waras adalah contoh gurita atau oligarki korupsi yang mencengkram dan memangsa asset dan kekayaan negara.
Dalam dua kasus tersebut terlihat nyata gurita, rantai dan jejak dinasti keluarga, yaitu antara Kartini Mulyadi dan bekas anak mantunya, Soetikno Sudaryo.
Sebagaimana diungkap BPK, Kartini Mulyadi, bekas ibu mertua dari Soetikno Sudaryo tersebut diduga adalah aktor utama dibalik dugaan korupsi RS Sumber Waras. Kartini Mulyadi sendiri adalah salah satu diantara dua perempuan yang masuk di dalam daftar 50 orang terkaya di Indonesia.
Sementara itu, dalam kasus mega korupsi penyuapan di perusahaan pelat merah, Garuda Airlines, selain melibatkan Direktur Utama Garuda Indonesia, Emirsyah Satar, juga melibatkan Sutikno Sudaryo.
Pendiri PT Mugi Rekso Abadi yang disebut SS, Sutikno Sudarjo, menurut KPK, telah memberi suap kepada mantan Dirut Garuda, Emirsjah Satar, dalam bentuk uang sebesar sekitar Rp. 20 miliar serta barang setara Rp 26,76 miliar yang tersebar di Indonesia dan Singapura.
Sementara itu, dalam mega korupsi E-KTP, keterlibatan keluarga Novanto terlihat sangat jelas, silih berganti menjadi pemilik PT Mondialindo, dari Irvanto Hendra Pambudi (keponakan Setya Novanto), Reza Herwindo (anak Novanto), dan Deisti Astriani (istri Novanto). Sedangkan pemilik saham PT Murakabi adalah putri Novanto, Dwina Michaela.
PT Mondialindo Graha Perdana mempunyai saham di PT Murakabi Sejahtera, salah satu penggarap proyek e-KTP.
Lalu pertanyaannya, angin apa yang membawa Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno untuk menyelesaikan dugaan kejahatan korupsi RS Sumber Waras secara adat kekeluargaan?
Penegakan hukum nya saja belum berjalan, masih terbentur tembok, tapi kasus ini justru dibawa oleh Pak Wagub Sandiaga ke atas meja makan restoran untuk drundingkan secara kekeluargaan.
Ada permainan apa dibalik inisiatif penyelesaian secara adat kekeluargaan tersebut? Bukankah penyelesaian secara adat kekeluargaan tersebut akan menggeser status tindak pidana kejahatan korupsi RS Sumber Waras menjadi semata masalah sengketa perdata?
Penyelesaian secara kekeluargaan yang dimaksud ada dua hal yang bisa dilakukan, yaitu “meminta pihak YKSW untuk mengembilkan uang kelebihan sebesar Rp 191 miliar atau membatalkan pembeliannya,” kata Sandiaga Uno di Balai Kota DKI Jakarta, pada Selasa 28 November 2017.
Tak hanya dalam kasus Rumah Sakit Sumber Waras, dalam kasus mega korupsi yang melibatkan keluarga besar, anak, istri dan ponakan dari Setya Novanto, juga nampaknya akan diselesaikan secara adat kekeluargaan.
Paling tidak, ada tiga skenario penyelesaian secara adat kekeluargaan yang akan dinegosiasikan. Pertama, anak, istri dan ponakan dari Setya Novanto tidak ditingkatkan statusnya sebagai tersangka dalam mega korupsi E-KTP, cukup jadi saksi semata.
Kedua, tidak dikenakannya pasal Tindal Pidana Pencucian Uang (TPPU) dalam kejahatan mega korupsi E-KTP yang melibatkan Setya Novanto beserta keluarga serta sejumlah politisi, birokrat dan pengusaha.
Ketiga, janji pengampunan hukum bagi para penerima uang suap E-KTP, asal yang bersangkutan punya itikad baik untuk mengembalikan sejumlah uang yang dikorupsi tersebut.
Setidaknya hingga saat ini menurut pengumuman resmi KPK, ada sekitar 14 orang yang mengembalikan uang suap dari korupsi E-KTP. Mereka-mereka yang mengembalikan uang suap tersebut yang konon katanya akan diselesaikan pake hukum adat kekeluargaan, tak ditingkatkan statusnya jadi tersangka, cukup jadi saksi semata.
Lalu bagaimana model penyelesain secara kekeluargaan dalam kasus korupsi PT Garuda Indonesia yang melibatkan Emirsyah Satar dan Soetikno Soedarjo?
Pertama, minimal kasus ini dilokasir untuk tidak merambah ke mana mana, terutama kepada pihak-pihak yang saat itu berkuasa yang diduga terlibat dalam kejahatan korupsi tersebut.
Kedua, kasus ini juga akan dilokalisir agar tak menyeret istri dari Emirsyah Satar yang diduga namanya terkait dalam sejumlah penyalahgunaan kewenangan saat suaminya Satar memimpin Garuda Indonesia.
Apa Jadinya Jika Pidana Korupsi Dirundingkan Pakai Adat Kekeluargaan?
Apa jadinya jika kejahatan tindak pidana korupsi diselesaikan secara perdata melalui cara-cara perundingan secara kekeluargaan, tanpa melalui proses pengadilan?
Akibatnya sudah dapat dibayangkan, tak akan ada lagi yang jera merampok kekayaan dan uang negara.
Bagi yang maniak merampok uang negara, pasti makin bersemangat merampok sebanyak mungkin kekayaan dan uang negara. Jika kelak terbongkar kejahatannya oleh penegak hukum, tinggal dihadapi melalui mekanisme perundingan secara kekeluargaan.
Pertama, mekanisme kekeluargaan yang dapat ditempuh adalah dengan menyulap status hukumnya, dari sebuah tindak pidana diubah menjadi sengketa perdata.
Kedua, diselesaikan dengan perundingan secara secara adat kekeluargaan, yaitu dengan menghitung jumlah kerugian negara, lalu si koruptor dapat mengembalikan sejumlah uang yang telah merugikan negara tersebut.
Demikianlah era baru pemberantasan korupsi di Indonesia, silahkan saja nyolong uang dan asset negara sebanyak banyak. Namun, jika ketahuan penegak hukum, segera atur perundingan secara adat kekeluargaan, lalu atur jumlah nilai yang dirugikan untuk dikembalikan kepada negara. Bebaslah anda dari jeratan hukum.
Oleh: Soeleman Harta, Juru Bicara Kaukus Muda Berantas Korupsi (KMBK)