KITA merayakan Hari Tani, 24 September 2016, di seluruh Indonesia. Namun apa yang disebut “merayakan†bukanlah pesta pora kemenangan, karena sampai saat ini kehidupan petani masih di bawah garis kemiskinan rata-rata di Indonesia.Â
Berdasarkan data BPS, hingga Maret 2016, penduduk miskin di kawasan perdesaan sebesar 17,67 juta jiwa atau sekitar 62,84% dari total jumlah penduduk miskin yang mencapai 28,01 juta atau 14,11% dari total penduduk Indonesia.Â
Tercatat pula bahwa dari 120,65 juta tenaga kerja Indonesia, sebanyak 38,29 juta (31,74%) bekerja di sektor pertanian. Dan yang lebih memprihatinkan lagi bahwa mayoritas dari mereka yaitu 27,03 juta orang (70,60%) memiliki latar belakang pendidikan tamat SD ke bawah. Sehingga tidak mengherankan jika data BPS juga menunjukkan dalam kurun waktu 2003-2013 terjadi pengurangan jumlah petani yang menguasai tanah di bawah 0,1 hektar sebanyak 5,04 juta petani.
  Â
Petani pada saat ini adalah korban dari akumulasi primitif yang dilakukan oleh korporasi kapitalis. Petani tergusur dari corak produksinya, menjadi buruh di tanahnya sendiri, atau buruh di perkotaan, dan bahkan di perkebunan-perkebunan negara tetangga. Kondisi petani sejak reformasi hingga pemerintahan Jokowi ini belum berubah secara fundamental.
Sementara gerakan perlawanan yang mereka lakukan terhadap rezim modal dan aparatusnya –birokrat dan militer—menunai kriminalisasi atas diri mereka. Mereka yang melawan dijebloskan ke dalam penjara atau….dibunuh dengan keji.
Saudara-saudara seperjuangan,
     Â
Sungguh miris kondisi petani kita. Tetapi tak cukup kita tanggapi dengan tangis dan kemarahan. Tak cukup dengan sekedar kepal tangan. Masalah petani membutuhkan nalar untuk terus menerus membangun organisasi perjuangan petani yang kuat, lintas lokal berskala nasional, dan bekerjasama dengan organisasi perjuangan lainnya, yakni perjuangan buruh, nelayan dan perempuan.
Sebab, kita menghadapi real politik yang dikuasai oleh oligarki, yang melalui partai-partai politiknya menciptakan sistem yang korup baik di legislatif, eksekutif maupun yudikatif. Apa yang disebut korup tak sekedar merampas dana anggaran untuk pembangunan kualitas hidup petani dan rakyat pekerja lainnya, melainkan lebih parah dari itu. Sistem apapun dalam tatanegara kita diciptakan untuk menjarah aset negara dan untuk digadaikan kepada korporasi kapitalis.
           Â
Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), yang diharapkan bisa menjawab pemenuhan hak rakyat atas pemanfaatan kekayaan alam pun dengan sengaja tidak pernah dijalankan sesuai semangat para pembentuknya. Bahkan UUPA diselewengkan dan dikebiri dengan munculnya undang-undang sektoral seperti UU Pertanahan, UU Sumber Daya Air, UU Mineral dan Batu Bara (UU Minerba), UU Kehutanan hingga UU Perkebunan.Â
UU sektoral inilah yang kemudian menyebabkan adanya ketimpangan penguasaan lahan, tumpang tindih perizinan dan penggunaan lahan serta tidak ada transparansi yang menyebabkan rakyat tergusur dan terusir dari ruang hidupnya. Kenyataan ini diperkuat dengan laporan Bank Dunia pada 15 Desember 2015 yang menyebutkan 74 persen tanah di Indonesia dikuasai oleh 0,2 persen penduduk.
    Â
Namun demikian, saudara-saudara seperjuangan, secara umum kita harus mengakui bahwa gerakan tani kita masih lemah. Ketidakberdayaan gerakan tani untuk berhadapan dengan real politik yang oligarkis berkorelasi dengan fragmentasi di dalam gerakan itu sendiri. Tetapi kelemahan ini tak hanya terjadi dalam gerakan tani. Kelemahan gerakan rakyat adalah kelemahan untuk membangun unifikasi antar elemen atau sektor kelas, yaitu gerakan tani, buruh dan nelayan, juga bersama gerakan multisektor seperti masarakat adat, miskin kota, perempuan dan gerakan rakyat lainnya.Â
Setiap elemen dari gerakan rakyat ini masih sibuk dengan agendanya masing-masing sehingga tidak menciptakan persatuan diantara elemen kelas tersebut. Hal inilah menyebabkan tidak adanya posisi gerakan rakyat yang tersatukan dalam sebuah perlawanan untuk menghadapi real politik dewasa ini.
Saudara-saudara seperjuangan,
  Â
Ketiadaan persatuan dari elemen tani dan buruh dan sektor-sektor lainnya, membuat gerakan rakyat rentan terpinggirkan, bahkan terisolasi dari proses politik yang nyata. Meski perlawanan bermunculan di pelosok-pelosok Indonesia, namun skala perlawanannya kecil dan bersifat lokal, hingga mudah dipatahkan oleh oligarki dengan modus iming-iming kecil, semacam konsensi (kelonggaran) kebijakan, untuk meredam perlawanan.
Konsesi inilah yang pada gilirannya mengganggu cara pandang gerakan rakyat untuk melihat masalah secara komprehensif. Seakan tidak ada keterkaitan masalah antara buruh dengan tani dengan miskin kota dengan nelayan dengan perempuan.Â
Seakan tak ada keterkaitan antara tenaga kerja upahan di perkotaan dan tenaga produsen di perdesaan; antara tenaga kerja laki-laki dan tanaga kerja perempuan; antara yang bekerja di darat dan di laut, dan antara yang bekerja di dalam negeri dan di luar negeri. Hal inilah yang membuat gerakan rakyat sulit untuk menjadikan cakupannya sebagai ruang alternatif politik bagi kebanyakan rakyat Indonesia.
Padahal telah sangat terang benderang, bahwa seluruh masalah rakyat pekerja itu berada dalam satu atap: kekuasaan oligarki yang korup, menghamba pada kapitalisme dan menutup ruang partisipasi politik bagi rakyat pekerja.
          Â
Keadaan gerakan kita saat ini memastikan pada satu sikap politik yang tak bisa ditawar lagi, yaitu membangun wadah dan ruang untuk memperkuat persatuan antar-elemen kelas rakyat pekerja. Konfederasi Pergerakan Rakyat Indonesia (KPRI) telah merintis upaya menuju persatuan elemen rakyat pekerja.
Namun demikian, dalam posisi sebagai konfederasi, kiranya belum mempunyai posisi politik yang setara untuk melawan alat politik oligarki yang berupa partai politik. Dalam negara demokrasi, partai politik adalah kemutlakan sebagai alat untuk berpartisipasi dalam real politik.Â
Tetapi, telah kita ketahui, partai-partai politik yang ada saat ini bukanlah partai politik yang lahir dari rakyat pekerja. Partai politik yang ada dewasa ini lahir dari rahim kepentingan oligarki yang menghamba pada kapitalisme. Maka teranglah, partai politik tersebut tidak mempunyai kemauan politik untuk merealisasikan agenda perjuangan rakyat pekerja, seperti reforma agraria, membangun industrialisasi nasional di bawah kontrol rakyat pekerja, perlindungan sosial untuk pemenuhan kebutuhan reproduksi sosial keluarga rakyat pekerja, perlindungan perempuan dari kekerasan dan diskriminasi di berbagai bidang, dan lain sebagainya.
Partai politik oligarki semata memanfaatkan suara rakyat pekerja pada saat pemilu legislatif, pemilu presiden maupun pemilu kepala daerah, untuk meraup kemenangan politiknya.
           Â
Sudah belasan tahun setelah kejatuhan Soeharto, rakyat terus mengalami penyingkiran dari kekuasaan politik negara. Penyingkiran ini tidak lagi mengandalkan secara penuh mekanisme represi atau kekerasan oleh negara, melainkan melalui penyingkiran di ruang demokrasi sektoral yang terbangun pasca runtuhnya kediktatoran Soeharto pada tahun 1998.
Walaupun massa rakyat semakin kritis dalam memahami kebusukan agenda dan praktek kelas modal, akan tetapi terus tergiring ke muara politik yang melestarikan kekuasaan ekonomi dan politik kelas borjuasi secara luas. Dalam pengalamannya, minim sekali celah di mana kelas borjuasi dan jaringan oligarki bersedia mengakomodir kepentingan rakyat, apalagi bersedia membangun pakta sosial yang memberikan perlindungan bagi rakyat.
  Â
Maka dari itu, saudara-saudara seperjuangan, agar kita organisasi tani, buruh, nelayan, perempuan, miskin kota, masyarakat adat, gerakan lingkungan, gerakan hak asasi manusia, gerakan difabel dan gerakan-gerakan lainnya, dapat merealisasikan agenda-agenda perjuangannya tanpa dimanfaatkan oleh partai politik oligarki itu, kiranya kita harus membangun partai politik alternatif dari rakyat itu sendiri. Partai alternatif untuk melawan kekuatan oligarki dalam berbagai jenis pemilu.
Saat ini kita boleh bersemangat, sebab gagasan membangun partai alternatif yang berani untuk mengikuti pemilu pada 2019 yang akan datang muncul dari Partai Hijau Indonesia (PHI) dan Partai Buruh yang akan dimodifikasi. Kita harus menyambut munculnya partai-partai altenatif ini untuk bersaing dalam pemilu 2019.
Saudara-saudara seperjuangan,
          Â
KPRI menyambut munculnya Partai Hijau dan Partai buruh yang akan dimodidikasi untuk bersaing dalam pemilu 2019. Sementara KPRI pun sedang mempersiapkan dirinya untuk membangun partai alternatif pula. Namun, mengingat medan pertarungan pemilu dipenuhi kontestan partai oligarki yang telah mempersiapkan alat-alat kepemiluan, seperti UU Pemilu, prosedur pelaksanaan pemilu, KPU, dan lainnya, untuk memenangkan dirinya –dan membunuh kesempatan partai alternatif—maka jalan persatuan (unifikasi) antar-partai alternatif menjadi niscaya. Persatuan antara Partai Hijau, Partai Buruh, KPRI, adalah keniscayaan, seperti halnya semut-semut kecil yang keniscayaannya adalah menciptakan unifikasi untuk membangun kekuatan.
Kami percaya pada kekuatan unifikasi partai alternatif, karena dapat pula menjadi ruang untuk mengukuhkan persatuan organisasi rakyat pekerja multi-sektoral dan multi-isu yang terfragmentasi.
  Â
Unifikasi partai-partai alternatif dari rakyat pekerja kiranya merupakan inovasi politik yang tepat untuk memajukan perjuangan rakyat ke kadar yang lebih progresif. Artinya, sebagai contoh, agenda reforma agraria yang tahun depan akan direalisasikan pemerintah Jokowi, namun dinilai gerakan tani tidak memenuhi prinsip reforma agraria yang sejati, akan lebih inovatif jika menjadi agenda perjuangan unifikasi partai alternatif dalam pemilu 2019. Agenda-agenda rakyat pekerja lainnya pun akan strategis jika diperjuangkan unifikasi partai alternatif.
Tentu saja hal yang terpenting adalah merebut kemenangan dalam pemilu 2019, sebagai pintu gerbang untuk memenangkan agenda politik rakyat pekerja.
Saudara-saudara seperjuangan,
  Â
Tak ada kemenangan tanpa disertai kerja keras. Hanya dengan kerja keras dan semangat persatuan rakyat pekerja memungkinkan kita melawan kekuatan politik uang dan senjata. Mari kita rebut kemenangan rakyat pekerja dalam pemilu 2019, dengan menertibkan organisasi kita dan diri kita untuk melakukan pekerjaan administrasi yang rinci seimbang dengan pekerjaa ideologi dan politik. Kemenangan terbit dari sebuah etos kerja yang terpimpin dalam kerja yang terstruktur dan terukur.
           Â
Sekali lagi Selamat Hari Tani 2016! Jangan pernah berhenti membuka ruang persatuan politik rakyat pekerja. Jangan pernah berhenti membangun partai alternatif dan unifikasi pemilu 2019!
Salam adil, setara, sejahtera
               Â
Oleh Chabibullah, Ketua Dewan Pimpinan Nasional ‎Konfederasi Pergerakan Rakyat Indonesia
Â
‎                                           Â