KedaiPena.Com – Sejumlah LSM mempertanyakan kecukupan perbaikan standar untuk memastikan produksi kelapa sawit yang disertifikasi Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) bisa dipertanggungjawabkan meski tanpa perbaikan yang serius pada sistem audit, pengaduan dan penegakkannya.
Hal tersebut disampaikan pada acara tahunan ke-5 RSPO Europe dimana para stakeholder industri kelapa sawit berkumpul untuk membahas peninjauan standar atau Prinsip dan Kriteria (P&C) dari badan sertifikasi kelapa sawit tersebut.
Banyaknya pengaduan yang belum selesai, termasuk terkait perusahaan Indofood Agri Resources, Golden Agri Resources, Sime Darby, dan Goodhope, menunjukkan lemahnya sistem komplain RSPO dengan sistem auditnya yang cacat dan sarat konflik kepentingan korporasi, serta lemahnya penegakan standar pada perusahaan perkebunan anggotanya.
Selain itu, RSPO juga tidak memberikan bantuan yang diperlukan bagi masyarakat dan buruh untuk mengikuti proses komplain atau melindungi mereka dari intervensi dan intimidasi perusahaan secara adil. Kegagalan sistemis tersebut semakin menjauhkan masyarakat dan buruh yang terdampak dari pemulihan yang sangat dibutuhkan dan sudah lama tertunda.
“Masyarakat frustrasi karena proses pengaduan berkepanjangan tanpa ada kepastian hasil atas upaya yang mereka lakukan. Ini menunjukkan bahwa mekanisme komplain RSPO perlu diperbaiki. Mekanisme tersebut harus sesuai dengan Prinsip Panduan PBB tentang Bisnis dan HAM, khususnya terkait efektivitas mekanisme keluhannya,†kata Andi Muttaqien, Wakil Direktur dari Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) dalam keterangan yang diterima KedaiPena.Com ditulis Selasa (13/6).
Organisasi Penguatan dan Pengembangan Usaha-Usaha Kerakyatan (OPPUK), Rainforest Action Network (RAN) dan International Labor Rights Forum (ILRF) memasukkan pengaduan ke RSPO terhadap anak perusahaan IndoAgri terkait pelanggaran hak buruh yang terdokumentasi pada perkebunannya di Sumatera Utara sejak tahun lalu. Komplain tersebut menyerukan agar anak perusahaan IndoAgri ditangguhkan dan menjadi kasus untuk menguji dan menilai bagaimana RSPO menangani dan menegakkan hak buruh.
“Dengan standar yang sudah ada saja RSPO masih enggan untuk menangguhkan anak perusahaan IndoAgri yaitu PT. London Sumatra serta perusahaan induknya PT. Salim Ivomas yang secara jelas melanggar P&C RSPO berdasarkan bukti lapangan yang kami serahkan. RSPO malah terus mempercayai informasi dari auditor yang telah gagal mengidentifikasi pelanggaran ini sejak awal,†kata Herwin Nasution, Direktur Eksekutif, OPPUK.
“Selama proses pengaduan berjalan, keprihatinan dan kekuatiran kami tentang keamanan buruh atas tindakan balas dendam dari perusahaan hingga kini belum ditanggapi.â€
RSPO hanya bersikap reaktif dan hanya menanggapi pengaduan yang diajukan oleh LSM daripada melakukan pemantauan secara proaktif pada perusahaan-perusahaan anggotanya dalam mengimplementasi standarnya.
Sikap RSPO yang enggan untuk menjatuhkan sanksi kepada anggota perusahaan perkebunan yang tidak patuh, khususnya terkait pelanggaran sosial, menunjukkan bahwa sistem RSPO tidak memiliki kegigihan yang diperlukan untuk mempertahankan kredibilitasnya sebagai sistem sertifikasi.
Anggota RSPO lainnya juga tidak diperlakukan secara akuntable. Bank yang menjadi anggota RSPO juga terus secara aktif mendanai Sime Darby, Golden Agri Resources, Indofood Agri Resources, dan Goodhope meski mereka belum menyelesaikan pelanggaran hak buruh, konflik tanah dan pelanggaran HAM.
“Bank anggota RSPO juga memiliki tanggung jawab untuk mengedepankan penegakan kebijakan bank itu sendiri sebelum menegakkan standar RSPO. Bank tidak bisa menutup mata atas keterlibatan konflik konsumennya. Selain perusahaan dan pemerintah, lembaga keuangan merupakan pendorong besar dibalik pertumbuhan sektor kelapa sawit yang pesat. Industri keuangan juga harus bertanggungjawab atas dampak negatif sosial dan lingkungan yang membawa malapetaka akibat pembiayaan yang tidak akuntable atas perusahaan yang mereka berikan jasa keuangannya,†kata Vera Falinda, Stakeholder Relation Officer, TuK INDONESIA.
“RSPO harus menguatkan sistem audit, penegakan dan pengaduannya diluar proses peninjauan P&C serta memfokuskan upaya untuk memberikan pemulihan masyarakat dan buruh yang terdampak agar dapat menangani permasalah-permasalahan ini secara serius,†kata Fitri Arianti, Koordinator Rainforest Action Network di Indonesia.
“Kegagalan dalam melakukan hal tersebut akan melemahkan kemampuan RSPO untuk tetap relevan dan melakukan perbaikan yang diperlukan demi membawa minyak kelapa sawit yang benar-benar ‘berkelanjutan’ kepada konsumen,†tandas dia.
Laporan: Muhammad Ibnu Abbas