“Peristiwa penangkapan tersebut menunjukkan karut-marutnya tata niaga garam dan sangat diduga kuat terjadi permainan dalam garam impor yang dibocorkan untuk dijual sebagai garam konsumsi,” ujarnya.
Padahal, selama ini petambak garam tradisional lokal mengalami pemiskinan dengan harga jual yang rendah. Belum lagi dari sisi pemerintah yang tidak memperhatikan masalah yang dihadapi petambak garam lokal.
Soalnya, PT Garam membeli garam konsumsi dari petambak lokal dengan Harga standar kualitas III Rp200-250/kg, kualitas Rp450/kg, dan kualitas I Rp650-700/kg.
“(Itu) tentunya tidak memberikan keuntungan yang optimal, bahkan tidak menutupi biaya produksi bagi petambak garam lokal,” tegasnya.
Karenanya, Marthin menilai, “Kejahatan yang dilakukan oleh Dirut PT Garam harus diusut tuntas, termasuk kepada mafia-mafia impor garam yang berada di Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perindustrian maupun di Kementerian Perdagangan.”
Kemudian, importase garam yang sangat tinggi harus dihentikan. “Karena tidak adil kepada petambak garam lokal yang selama ini menderita karena garam industri dibocorkan secara sengaja untuk dijual bagi konsumsi rumah tangga,” tandasnya.
Kejadian tersebut, tambah Misbahul Munir selaku pengurus DPP KNTI, memperburuk upaya memperbaiki tata niaga garam nasional dengan penyempurnaan Inpres tentang swasembada garam nasional belum final.
“Manipulasi impor garam diduga justru di manfaatkan untuk kepentingan memperkaya diri oleh pejabat eselon satu dari lintas kementerian yang terkait garam tersebut,” bebernya.
“Peristiwa ini juga menunjukkan buruknya tata niaga garam nasional yang pada akhirnya melakukan pemiskinan terhadap petambak garam tradisional lokal,” lanjut Munir.
Diperkirakan selama tahun 2016, impor garam mencapai 3 juta ton yang sebelumnya meningkat dari 2,1 juta ton pada tahun 2015. Kemungkinan besar impor garam dipermainkan untuk didistribusikan untuk konsumsi rumah tangga. Itu jelas terbukti dengan penangkapan oleh Aparat Mabes Polri terhadap Dirut PT Garam.