KedaiPena.Com – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) merespon hasil Sidang WHC ke-44, yang dilaksanakan secara virtual pada akhir Juli 2021. Di mana poinnya adalah mendesak Pemerintah RI untuk menghentikan proses pembangunan infrastruktur di Pulau Rinca, TN Komodo.
Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam Dan Ekosistem (Dirjen KSDAE), Wiratno mengatakan, pembangunan tersebut dibiayai oleh Kementerian PUPR, yakni Ditjen Cipta Karya.
“Pembangunan tersebut adalah merupakan perbaikan atau renovasi dari infrastruktur sebelumnya, seluas 1,3 Ha, agar infrastruktur tersebut lebih layak sebagai fasilitas wisata premium di Indonesia. Komodo merupakan kebanggaan Bangsa Indonesia,” kata Inung, sapaan dia.
Saat ini, lanjut Inung, prosentase pembangunan dermaga telah mencapai 95% dan pembangunan pusat informasi 76%, dan dijadwalkan pada Bulan Desember 2021 telah selesai.
“Kami yakin bahwa dengan penyempurnaan Environmental Impact Assessment (EIA), berbagai kriteria yang ada dapat diterima oleh UNESCO,” sambungnya.
Beberapa pihak menyebut, pembangunan tersebut berdampak pada ekosistem dan lingkungan. KLHK menegaskan bahwa pembangunan di Resort Loh Buaya Pulau Rinca Taman Nasional Komodo (TNK) tidak menimbulkan/mengakibatkan dampak negatif terhadap Outstanding Universal Value (OUV) Situs Warisan Alam Dunia Taman Nasional Komodo.
“Tujuan pembangun adalah mengganti sarana dan prasarana yang tidak layak dengan sarpras yang berstandard internasional, yaitu (1) ranger camp, (2) guide camp, (3) researcher camp, (4) plaza deck, (5) resting post, (6) elevated deck, (7) reservoir tank, (8) distribution pipeline, (9) waiting room for visitor, (10) jetty, (11) coastal protection, (12) information center,” jelas dia.
OUV yang terpenting di Pulau Rinca adalah (1) populasi komodo dan sumber pakan (rusa, kerbau, babi hutan), (2) savana ecosystem, (3) upland forest, (4) mangrove forest, (5) white sandy beaches, (6) coral reef, dan (7) sea grass. Luas areal terbangun adalah 1, 3 hektar, terletak pada tapak sarpras yang lama.
“Kesimpulannya, bahwa pembangunan sarpras tersebut tidak menimbulkan dampak yang signifikan diperoleh berdasarkan hasil kajian penyempurnaan Environmental Impact Assessment (EIA) yang dilakukan oleh para pakar kehati dan lingkungan,” lanjutnya.
Ahli kehati dan lingkungan yang dimaksud adalah dari IPB yakni Prof Dr Ir Lilik Budi Prasetyo dan Dr. Mirza Dikari Kusrini. Kemudian dari Wildlife Conservation Society yakni Dr. Titiek Setyawati dan Sheherazade, S.Si. M.S. Lalu dari Komodo Survival Program yakni Achmad Ariefiandy, M.Sc. Dan juga pakar Warisan Dunia yakni Koen Meyers.
Kajian ini dilakukan bersama KLHK dan Kemen PUPR, Kementerian Luar Negeri, Kemen Pendidikan dan Kebudayaan/Komite Nasional Indonesia untuk UNESCO, dan Kemenko PMK.
“Komitmen Pemerintah Indonesia dalam menjaga OUV TN Komodo secara berkelanjutan,” tegasnya.
Desain sarpras yang baru, lanjut Wiratni, telah meminimalisir interaksi langsung wisatawan dengan satwa liar, terutama komodo. Sehingga komodo dan satwa liar lainnya tidak terganggu dan aktivitas ekowisata berkualitas dapat berjalan.
“Tentunya pengerjaan selama ini dilakukan dengan sangat hati-hati, tidak menimbulkan dampak negatif baik kepada lingkungan maupun satwa liar yang hidup di wilayah Resort Loh Buaya Pulau Rinca berdasarkan kajian ilmiah Environmental Impact Assessment,” jamin dia.
“Di sekitar lokasi pembangunan sarpras tersebut hanya terdapat 13 individu komodo, dari 60 individu komodo yang terdapat di Lembah Loh Buaya, di P. Rinca. Total populasi komodo di TN Komodo adalah 3.100 individu,” tandasnya.
Laporan: Natasha