KLASULA baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumendan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.
Kalimat itu tercantum dalam Undang-Undang Nomor.8 tahun 1999 Perlindungan Konsumen. Konsumen, bagi sektor perbankan, sering juga disebut nasabah.
Untuk lebih mudah mengenali seperti apa klausula baku, contohnya bila kita membeli suatu barang di toko, kita mendapat bon pembelian barang dan distu dicantumkan kata-kata “barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan”.
Atau jika kita ke laundry kita mendapat lembaran tanda terima pakaian dan lain-lain. Di situ biasanya ada yang mencantumkan kata-kata “barang yang tidak diambil satu bulan setelah selesai, kehilangan atau kerusakan bukan tanggung jawab kami”.
Khusus dalam praktek di sektor perbankan, setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen atau sering juga disebut layanan jasa perbankan.
Nasabah ada dua macam, pertama nasabah yang menitipkan dana, kedua nasabah yang merupakan debitur, atau yang meminjam uang.
Posisi bank dan nasabah adalah setara. Patut diingat dalam layanan perbankan, sesuai dengan peraturan perbankan, harus didasari atas suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat kedua belah pihak.
Dokumen dan/atau perjanjian tersebut hendaknya disepakati oleh kedua-belah pihak dan perjanjian tersebut dibuat atas dasarkesetaraan. Artinya, pihak bank dan nasabah mempunyai ruang untuk menegosiasikan kepentingannya masing-masing.
Kenyataannya, terutama untuk perjanjian kredit antara bank dengan debitur form perjanjian tersebut sudah disiapkan dari bank atau dalam Undang-Undang No.8 Tahun 1999 disebutdengan klausula baku.
Hampir pasti dalam situasi ini, nasabah posisinya lebih lemah dan sangat jarang untuk menegosiasikan butir-butir perjanjian.
Misalnya dalam hal kredit ketika nasabah meminjam uang ke bank dalam bentuk kredit. Klausula baku perjanjian kredit (PK) sudah dipersiapkan oleh bank, nasabah posisinya lebih lemah karena nasabah yang membutuhkan.
Prakteknya, nasabah hanya tanda tangan saja tanpa melakukan negosiasi. Padahal klausula baku tersebut ternyata memuat butir pernyataan yang sifatnya mengalihkan tanggungjawab dan tentu hal tersebut dilarang oleh undang-undang.
Artinya kalau dana tidak tersedia, atau dengan alasan sesuatu hal maka bank tidak jadi memberikan kredit. Atau misalnya, tenor (masa waktu) pinjaman selama sepuluh tahun, namun bisa terjadi pada suatu waktu, bank tersebut minta dilunasi sekaligus dan seketika.
Jelas dalam klausula baku tersebut menguntungkan si bank dan sisi lain merugikan nasabah. Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, klausula baku ini dianggap sebagai perjanjian yang tidak equal atau tidak setara.
Padahal dalam membuat suatu perjanjian, harusnya itu setara, karena bank punya posisi dominan atas nasabah di situ.
Klausula Baku yang Dilarang
Saat ini klausula baku seperti ini dilarang oleh Undang-Undang No. 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen, Peraturan Bank Indonesia No. 16/1/2014 maupun Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) No. 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Nasabah Jasa Keuangan.
Mungkin banyak anggota masyarakat yang belum menyadari akan hak-haknya sebagai nasabah, di bawah ini Pasal 18 Undang-Undang Perlindungan Konsumen menyatakan;
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:
a. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
b. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;
c. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;
d. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
e. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;
f. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;
g. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
h. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
Alasan Bank
Diawal tulisan ini sudah dikemukan kutipan pengertian klausula baku menurut UU Perlindungan Konsumen bahwa ketentuan dan syarat-syarat telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usahausaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.
Pihak perbankan sebenarnya menolak jika dianggap melanggar UU Perlindungan Konsumen karena jika mengacu pengertian tersebut maka nasabah kredit (debitur) tidak sama dengan konsumen.
Konsumen yang dimaksud UU Perlindungan Konsumen adalah konsumen akhir yaitu pengguna atau pemakai akhir dari suatu produk. Yang menjadi perdebatannya adalah apakah konsumen bank yaitu nasabah kredit non konsumtif termasuk konsumen atau bukan, karena debitur tidak menggunakan kredit untuk dipakai bagi dirinya sendiri. Sampai saat ini perdebatan tersebut belum berakhir.
Masalah adanya larangan penggunaan klausula baku dalam perjanjian bukannya tidak dipahami oleh pihak bank atau dengan sengaja dan terang-terangan ingin melanggar hukum perlindungan konsumen.
Dari sudut pandang dan kepentingan perbankan mempunyai alasan sendiri yang menyebabkan bank tetap menggunakan klausula baku dalam transaksi kredit dengan nasabahnya.
Alasan yang dikemukakan bank antara lain adalah pertama, tidak mungkin setiap kali bank dan nasabahnya secara individual akan menandatangani perjanjian kredit, maka harus dibuat dan dinegosiasikan pasal demi pasal terutama hal-hal pokok yang merupakan inti hubungan hukum antara bank dan nasabah serta hal yang menyangkut kepentingan dana bank.
Jadi tujuan bank sebenarnya adalah untuk mempercepat pelayanan kepada nasabah. Bagi pihak nasabah dan bank mempunyai keinginan yang sama agar kredit dapat segera disalurkan atau dicairkan, maka ketentuan-ketentuan dalam Perjanjian Kredit dipersiapkan secara sepihak oleh bank.
Kedua, produk dari suatu bank sangat banyak macamnya sehingga tidak semua pegawai bank menguasai ketentuan atau hukum yang berlaku pada suatu produk atau jasa bank.
Oleh karena itu formulir perjanjian kredit dibuatkan oleh bagian hukum di kantor pusat, sehingga pegawai kantor-kantor cabang dimanapun tidak mengalami kesulitan dalam menyiapkan perjanjian kredit dan ketentuan yang berlaku diseluruh cabang adalah sama.
Dengan disediakannya form kredit oleh bagian hukum di kantor pusat maka pegawai bank dikantor cabang yang memproses kredit tidak perlu berkonsultasi dengan kantor pusat dalam bernegosiasi dengan nasabah kredit (debitur).
Perlu diketahui bahwa kewenangan untuk pembuatan formulir standar adalah kewenangan direksi. Oleh karena itu untuk mengubah suatu klausula baku yang telah dibuat dan disediakan oleh bank memerlukan persetujuan direksi. Pada hakekatnya klausula baku masih memungkinkan untuk diubah, namun sangat sulit bagi nasabah untuk mengusulkan perubahan, apalagi bagi seorang nasabah ritel.
Perlindungan Dana Nasabah
Membandingkan ketentuan dalam UU Perlindungan Konsumen dengan praktik yang dijalankan bank mengenai klausula baku seperti ada pertentangan atau pelanggaran terhap perlindungan nasabah.
Namun jika dikaji lebih mendalam sebenarnya tidak ada pertentangan atau pelanggaran perlindungan nasabah.
Tindakan yang dilakukan oleh bank sebenarnya juga dalam rangka perlindungan nasabah bank.
Salah satu fungsi bank adalah financial intermediary atau perantara keuangan. Maksudnya bahwa fungsi bank adalah mengumpulkan dana dari anggota masyarakat yang kelebihan dana (surplus unit) dalam bentuk simpanan berupa tabungan, giro, deposito dan menyalurkannya kembali kepada masyarakat yang kekurangan dana (defisit unit) dalam bentuk kredit.
Klausula baku yang digunakan bank dalam perjanjian kredit sengaja disiapkan sebagai alat pengaman agar bank tidak mengalami kerugian setelah menyalurkan kredit. Misalnya jika setelah kredit dicairkan ternyata benda jaminan (agunan) nilainya merosot tajam hingga di bawah nilai kredit maka bank berhak secara sepihak untuk menghentikan sisa kredit yang belum dicairkan.
Juga bank secara sepihak meminta debitur menyerahkan tambahan benda jaminan, jika debitur tidak dapat memenuhinya bank dapat mewajibkan nasabah untuk segera mengembalikan dana yang telah dipinjamkan walaupun perjanjian kredit belum jatuh tempo.
Klausula baku sebagai alat pengaman bank seperti dicontohkan di atas sebenarnya adalah untuk melindungi dana yang dikelola bank. Dana yang dikelola dan disalurkan dalam bentuk kredit olah bank tidak lain adalah juga dana nasabah yaitu nasabah penyimpan. Dana nasabah yang dititipkan oleh nasabah penyimpan kepada bank harus dapat dikembalikan oleh bank kepada nasabah penyimpan sewaktu-waktu atau menurut perjanjian.
Namun apa yang disampaikan di atas sebagai argumen pihak bank, tetaplah hanya sebagai argumentasi yang tidak mempunyai kekuatan hukum. Sedangkan larangan penggunaan klausula baku suatu hokum positip (hukum yang saat ini berlaku) di Indonesia sehingga harus dipatuhi oleh semua pihak.)
Aspek Keadilan Berkontrak
Pada awal tulisan ini telah diuraikan bahwa kedudukan pihak bank dan nasabah dalam perjanjian kredit secara yuridis seharusnya setara (equal), namun dengan adanya klausula baku di mana pihak debitur “terpaksa” harus menyetujui isi klausula tsb membuat kedudukan mereka tidak setara.
Secara universal keadilan dalam membuat kontrak akan terwujud apabila para pihak dalam perjanjian mempunyai bargaining position (posisi tawar) yang sama kuat. Aspek keadilan dalam transaksi ini memang merupakan salah satu tujuan UU Perlindungan Konsumen, sehingga adanya larangan penggunaan Klausula Baku sebagaimana diatur dalam Pasal 18 UU Perlindungan Konsumen adalah untuk meningkatkan posisi konsumen.
Khusus di dalam perjanjian kredit posisi bank-nasabah tidak sama dan sebangun dengan posisi pelaku usaha-konsumen.
Dalam hubungan hukum perjanjian kredit perlu dipertimbangkan bahwa setelah Perjanjian Kredit di tanda tangani diikuti dengan pelaksanaan kewajiban bank yaitu mencairkan dana walaupun pihak nasabah (debitur) belum melaksanakan kewajibannya.
Patut dipertimbangkan pula bahwa sebelum pencairan kredit nasabah (debitur) telah menyerahkan benda jaminan (agunan). Namun apabila nasabah (debitur) wanprestasi (ingkar janji) bank tidak dapat serta merta dan dengan mudah menjual benda jaminan, sedangkan dana sudah terlanjur disalurkan ke nasabah (debitur) sebagian atau keseluruhan
Pembentuk UU Perlindungan Konsumen tampaknya kurang memperhatikan kekhususan atau karakteristik dari berbagai transaksi di sektor industri keuangan dan perbankan sehingga memperlakukan sama dengan transaksi pada umumnya di bidang perdagangan barang.
Melalui tulisan ini penulis ingin mengusulkan agar tercapai keadilan dalam membuat Perjanjian Kredit maka pihak yang berkepentingan (stakeholders) terhadap Klausula Baku ini mengusulkan amandemen terhadap UU No. 8 tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen yaitu untuk memasukkan pengecualian terhadap transaksi-transaksi tertentu disektor keuangan dan perbankan sebagaimana telah diuraikan di atas. Sehingga perbankan dalam menjalankan usahanya tidak rentan terhadap gugatan hukum yang berpotensi merugikan banyak pihak.
Kondisi yang terjadi di Indonesia ini mirip dengan yang terjadi di Negara lain. Di Australia hukum perlindungan konsumen termaktub dalam Trade Practices Act 1974 kemudian khusus untuk perlindungan konsumen dikeluarkan dari undang-undang tersebut dan jadi undang-undang tersendiri yaitu Competition and Consumer Act 2010 (1 Juli). Ketentuan mengenai Klausula Baku isinya sama dengan yang di Indonesia tidak ada pengecualian larangan berlakunya Kaluasula Baku terhadap produk dan jasa keuangan dan perbankan.
Namun kekurangan itu segera disadari dan pada Januari 2011 segera dilakukan amandemen terhadap undang-undang tersebut. Hal yang sama juga terjadi di dalam system hukum perlindungan konsumen di Hongkong.
Penyelesaian Perselisihan
Persoalannya kemudian bagaimana jika terjadi perselisihan antara nasabah dengan bank karena dalam praktik bank masih memasukkan klausula baku dalam perjanjian kredit sedangkan menurut UU Perlindungan Konsumen jika ada klausula baku dalam perjanjanjian maka klausula tersebut dianggap tidak ada alias tidak mempunyai efek hukum.
Pada umunya semua sengketa hukum dapat diselesaikan di lembaga Peradilan umum (Pengadilan Negeri) untuk mendapatkan keputusan berdasarkan hukum yang berlaku.
Tetapi perlu dipertimbangkan juga bahwa penyelesaian sengketa bisnis di pengadilan mempunyai kelemahan antara lain pertama memakan waktu yang relatif lama untuk sampai pada kekuatan hukum yang tetap. Kedua, memerlukan biaya yang relatife cukup besar terutama untuk honor dan biaya operasional advokat.
Melalui jalur pengadilan ini tentunya sulit di tempuh oleh nasabah ritel atau perorangan penyelesaian sengketa antara nasabah dengan bank tidak hanya dapat dilakukan melaui jalur pengadilan. Saat ini terdapat cara penyelesaian sengketa yang out of court settlement (penyelsaian sengketa diluar pengadilan) yaitu secara mediasi, ajudikasi, arbitrase.
Forum penyelesaian sengkata antara nasabah dengan bank tersebut bernama Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia (LAPSPI).
LAPSPI adalah suatu lembaga yang didirikan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bersama sama dengan Perhimpunan Bank Nasional (Perbanas), Asosiasi Bank Daerah (Asbanda), Himpunan Bank Negara (Himbara), Perbarindo, Asosiasi Bank Syariah Indonesia (Asbisindo), dan Perhimpunan Bank Asing (Perbina) pada tanggal 28 April 2015 dan mulai berperasi pada tahun 2016 ini.
Oleh Ahli Hukum Perbankan
Perbanas Institute Arus Akbar Silondae