MASIH percaya dengan Menkeu Sri Mulyani yang bolak-balik menyatakan APBN dikelola dengan prudent? Kisah anggaran Tunjangan Hari Raya (THR) dan gaji ke-13 tahun ini adalah bukti bahwa klaim itu cuma isapan jempol. Faktanya Pemerintah mengelola APBN dengan ugal-ugalan.
Beberapa bukti itu antara lain, pertama, Presiden Jokowi mengaku tidak tahu-menahu tentang THR dan gaji ke-13 tersebut. Untuk perkara ini memang bisa disebut aneh bin ajaib. Kok bisa Presiden tidak tahu ada alokasi duit hingga Rp35,8 triliun yang diklaim Sri sudah dianggarkan di APBN.
Keanehan berikutnya, kalau pun Jokowi tidak tahu-menahu, kok Presiden sudah menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) tentang pemberian THR dan gaji ke-13 untuk para pensiunan penerima tunjangan, seluruh PNS, prajurit TNI, dan Anggota Polri, pada 23 Mei 2018 silam?
Selain untuk para pegawai sipil, militer, dan Polri, PP tersebut menyebut pejabat negara lainnya seperti Presiden, Wakil Presiden, anggota MPR dan DPR juga dapat THR. Rinciannya, anggaran THR gaji sebesar Rp 5,24 triliun, THR untuk tunjangan kinerja Rp 5,79 triliun, THR untuk pensiunan Rp 6,85 triliun, gaji ke-13 sebesar Rp 5,79 triliun,‎ dan pensiunan ke-13 senilai Rp 6,85 triliun.
Bukti kedua bahwa APBN dikelola dengan ugal-ugalan adalah, para kepala daerah (bupati/walikota) ternyata kebingungan. Pasalnya, Sri mengatakan pemberian THR dan gaji ke-13 di daerah menjadi tanggungjawab APBD. Yang jadi persoalan, para kepala daerah tadi tidak tahu ada ketentuan tersebut. Bukan itu saja, mereka malah menyatakan tidak tahu harus mencomot dari pos mana di APBD.
Sebagai Menkeu, tentu saja, Sri mengklaim semuanya sudah diurus rapi-jali sejak awal. Menurut dia, penganggaran THR dan gaji ketiga belas tahun ini sudah masuk dalam Dana Alokasi Umum (DAU) di APBN 2018. Artinya, Pemerintah sudah membahas dengan DPR.
Pembohongan publik
Kelau Sri memang benar, bahwa penganggarananya sudah masuk dalam pos DAU, kenapa para kepala daerah kebingungan? Keluhan seperti inilah yang disampaikan Ketua MPR Zulkifli Hasan, hari-hari belakangan. Bahkan, menurut Zulkifli, dia mengaku mendapat informasi ada Bupati yang membayar sendiri THR tersebut. Apakah ini tidak berarti Sri telah melakukan pembohongan publik?
Sengkarut perkara THR ini kian jadi pabalieut setelah Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo ikut cawe-cawe. Melalui surat bernomor 903/3387/SJ, Tjahjo melimpahkan pembayaran THR dan gaji 13 kepada APBD.
Sayangnya, niat Tjahjo untuk membantu koleganya, justru makin menguak betapa APBN disusun dan dikelola dengan serampangan. Buktinya, pada poin keenam surat menyebutkan bagi daerah yang belum menyediakan/tidak cukup tersedia anggaran THR dan gaji 13 dalam ABBD tahun 2018, pemerintah daerah segera menyediakan. Caranya, dengan menggeser anggaran yang dananya bersumber dari belanja tidak terduga, penjadwalan ulang kegiatan dan atau menggunakan kas yang tersedia.
Lalu, poin ketujuh surat tersebut menyebutkan penyediaan anggaran THR dan gaji ke-13 atau penyesuaian nomenklatur anggaran sebagaimana tersebut pada angka 6 dilakukan dengan cara mengubah penjabaran APBD tahun 2018 tanpa menunggu perubahan APBD tahun 2018. Meski demikian, para kepala daerah harus segera memberitahukan kepada pimpinan DPRD paling lambat sebulan setelah dilakukan perubahan penjabaran APBD.
Praktik geser-menggeser anggaran karena tidak dialokasikan sebelumnya jelas membongkar kebohongan Sri. Menkeu yang satu ini dengan yakin dan pedenya alias percaya diri menyatakan, soal THR dan gaji ke-13 sudah dialokasikan dalam DAU. Yang terjadi di lapangan justru sebaliknya. Para bupati dan walikota kebingunan dan kelimpungan.
Pidana korupsi
Tapi, tahukah Sri, Tjahjo dan para pejabat publik lain, bahwa praktik geser-menggeser anggaran dalam APBD dan atau APBN tidak bisa sembarangan dilakukan? Kalau nekat, mereka bisa dikenai pasal-pasal pidana korupsi. Paling tidak, begitulah pendapat pakar hukum tata negara Margarito Kamis.
Menurut Margarito, dari segi tata negara dan hukum keuangan, memberi THR dan gaji ke-13 adalah hal yang lazim saja. Keganjilan baru terjadi bila keduanya tidak dianggarkan dalam APBN dan atau APBD.
Seperti diketahui, APBN dan APBD adalah produk hukum. Di tingkat pusat, APBN disahkan dengan Undang Undang. Sedangkan di daerah sah melalui Perda. Dengan demikian, jika sebelumnya tidak dianggarkan dalam APBN dan atau APBD, maka akibat hukumnya adalah Pemerintah tidak punya dasar hukum melakukan pembayaran THR dan gaji ke-13 itu.
“Pembayaran THR dan gaji-13 tidak dapat dipecahkan dengan cara menggeser mata anggaran dalam APBD. Bila Pemda melakukannya, maka tindakan itu absolut bertentangan dengan hukum. Dapat dipastikan pergeseran itu akan menjadi temuan oleh BPK. Surat edaran Mendagri tidak memiliki kapasitas hukum, sehingga tidak bisa dijadikan dasar hukum oleh Pemda menggeser anggaran. Bila Pemda memaksakan diri, maka potensi munculnya tindak pidana korupsi,†papar Margarito.
Itu baru dari sisi hukum. Di luar itu, masih ada masalah lain. Duit Rp35,8 triliun jelas bukanlah sedikit. Jumlah itu kian terasa jumbo, manakala pada banyak kesempatan Pemerintah berteriak-teriak tidak punya uang untuk membiayai pembangunan. Namun anehnya, pada saat yang sama Pemerintah dengan entengnya menggelontorkan dana sangat besar untuk keperluan yang aroma politisnya sangat menyengat ini.
Asal tahu saja, alokasi THR dan gaji ke-13 tahun ini memang benar-benar superjumbo. Dibandingkan dengan alokasi serupa tahun lalu yang ‘hanya’ Rp23 triliun, kali ini kenaikannya mencapai 68,92%. Lonjakan ini lantaran adanya penambahan komponen THR pensiun sebesar Rp6,9 triliun dan THR tunjangan kinerja sebesar Rp5,8 triliun.
Pada 2017, THR hanya diberikan kepada aparatur pemerintah sebesar gaji pokok tanpa tunjangan. Sedangkan pensiunan tidak diberikan THR. Sebaliknya tahun ini komponen THR mencakup gaji pokok, tunjangan umum, tunjangan keluarga, tunjangan jabatan, dan tunjangan kinerja. Sementara THR yang diterima para pensiun meliputi pensiun pokok, tunjangan keluarga dan tunjangan tambahan penghasilan. THR dengan berbagai komponen seperti itulah yang juga diterima Presiden, Wakil Presiden, pimpinan dan anggota DPR dan MPR.
Katanya ber-Pancasila?
Sampai di sini sedikitnya ada dua muatan. Pertama, aksi bagi-bagi duit di tahun politik ini jelas jadi hajat penting Pemerintah. Gampang ditebak, Pemerintah mencoba merayu aparat dan pensiunan untuk meraup suara dukungan mereka. Sahkah? Hmmm…. gimana yaaa…
Kedua, apa iya Presiden, Wapres, pimpinan dan anggota DPR/MPR masih perlu dapat THR dan gaji ke-13. Lha wong hampir bisa dipastikan, mereka selama ini sudah relatif tajir. Para pejabat publik itu sudah memperoleh gaji dan guyuran fasilitas lebih dari cukup, untuk tidak menyebut berlebihan, yang semuanya dibiayai dengan uang rakyat. Tidakkah ada sedikit saja empati mereka terhadap sebagain besar rakyat yang kesehariannya harus berakrobat dan pontang-panting untuk sekadar bertahan hidup?
Katanya ini negeri ber-Pancasila? Dimanakah nilai-nilai Pancasila itu? Bagaiman dengan jargon dan slogan para pejabat publik yang getol berteriak paling lantang, “kami Pancasila, kami Indonesia, NKRI harga mati�
Masih soal empati dan teposliro dari para pejabat publik tadi. Iseng-iseng hitung, berapa jumlah seluruh aparatur negara? Silakan gabung jumlah PNS, aparat sipil dan militer dari Sabang sampai Merauke? Adakah total jumlah mereka 10 juta orang saja? Katakanlah, rata-rata tiap aparat/pegawai menanggung beban empat jiwa (satu istri plus tiga anak), maka jumlahnya baru 50 juta jiwa. Kalau kini penduduk Indonesia ada 263 juta jiwa, lalu, bagaimana dengan nasib 213 juta jiwa sisanya? Kepada siapa mereka berharap THR dan gaji ke-13?
Makin dikulik, perkara THR dan gaji ke-13 ini makin miris saja. Bagaimana tidak, APBN di tangan seorang Menkeu yang konon terbaik di dunia, kok bisa-bisanya jadi amburadul dan acak-kadut begini? Sekali lagi, ini jadi bukti bahwa dia memang memang cuma moncer di media belaka. Gemerlap yang ada adalah buah kolaborasi media mainstream dan kapitalisme global yang punya kepentingan dan agenda tersembunyi, baik secara ekonomi maupun politik, terhadap negeri ini. Ngeriii…!
Oleh Edy Mulyadi, Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS)