DALAM pidato Hari Ulang Tahun ke 44 PDIP, disebutkan Indonesia berada di urutan ke 3 dalam hal pertumbuhan ekonomi, setelah Cina dan India.
Dalam kesempatan rapat antara Menteri Perdagangan dengan para importir hortikultura nasional, penulis bertanya kepada Enggartiasto Lukita tentang sejumlah hal terkait ekonomi, pertanian dan perdagangan.
Di antaranya apakah benar ekonomi kita mengalami pertumbuhan dan berada di posisi ketiga di bawah Cina dan India?
Penulis kemukakan sejumlah alasan, kalau ekonomi tumbuh dan berada di bawah Cina dan India, kenapa utang kita numpuk? Kenapa Menkeu seperti panik dan putuskan kerjasama dengan JP Morgan?
Presiden sudah teken kenaikkan pajak STNK dan BPKB, lalu dibatalkan atau ditunda dan diganti. Menko Maratim persilakan asing mengelola 4000 pulau dan boleh memberi nama sendiri.
Pertanyaan penulis soal urutan ketiga tidak dijawab oleh Mendag Enggar. Dan hanya menjawab soal kenapa Menkeu putuskan huhungan kerjasama dengan JP Morgan, tentunya dengan bela Menkeu.
Dalam tulisan ini, penulis hanya bertanya, bukankah selama ini Pemerintah selalu gunakan pendapat JP Morgan dalam memberi status dan peringkat utang kita dan kita pun oke. Dan tidak masalah.
Tapi ketika JP Morgan keluarkan riset dengan judul, “Trump Forces Tactical Changes”, yang ditujukan pada investor JP Morgan tentang gejolak pasar keuangan dunia, terlebih di negara-negara berkembang dan kita pun diturunkan pada tingkat, dari overweight ke underwright.
Lalu pemutusan hubungan pun di lakukan oleh Menkeu. Karena pemerintah menganggap penurunan status itu menggangu stabilitas keuangan.
Kenapa kita cenderung klaim pertumbuhan dan berada pada urutan ketiga di Cina dan India? Sedangkan kondisi riil-nya kita sangat ketar-ketir dalam hal keuangan sehingga menaikkan sejumlah harga termasuk BBM, mencabut subsidi listrik, menaikkan pajak kendaraan bermotor dan sebagainya.
Dan juga mau “melego” 4000 pulau kita kepada pihak asing oleh Menko Maritim, Jendral (Purn) Luhut Binsar Panjaitan.
Lalu klaim pertumbuhan ekonomi itu seperti apa? Mendag Enggar belum jawab pertanyaan penulis dan sehari-hari rakyat bergelut dalam kesulitan hidup seperti yang didengar dan dirasakan dari suara-suara teman pengusaha dan masyarakat kebanyakan. Bahkan untuk harga cabai saja semakin melambung.
Tapi Presiden Jokowi beri solusi, “kalau cabai mahal tidak usah beli cabai rawit”. Sebagai kepala negara dan pemerintah, Jokowi tidak beri solusi cerdas dalam urusan kenaikkan harga cabai rawit ini.
Sehingga peringkat pertumbuhan ekonomi di bawah Cina dan India itu cukup dipatahkan oleh harga cabai rawit.
Oleh Muslim Arbi, Koordinator GALAK (Gerakan Aliansi Laskar Anti Korupsi)