KedaiPena.com – Pengajuan penghentian eksplorasi minyak dan gas di Natuna secara diplomatik, harusnya menjadi perhatian penting bagi pemerintah Indonesia. Karena, faktanya area tersebut merupakan daerah kedaulatan Indonesia.
Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) Yusri Usman menyatakan pemerintah Indonesia jangan lengah. Karena negara China sangat berkepentingan menguasai daerah Laut China Selatan yang kaya potensi migas dan potensi ikannya.
“Ini ujian bagi Pemerintah Jokowi harus disikapi dengan jalur diplomatik untuk pihak Pemerrintah China menghargai kedaulatan NKRI adalah harga mati,” kata Yusri Usman saat dihubungi, Selasa (7/12/2021).
Ia menyebutkan Indonesia mempunyai kedaulatan penuh di Natuna, 200 mil dari pulau terluar yaitu pulau Sekatung dan diakui oleh hukum laut internasional UNCLOS PBB.
“Tak ada urusannya pemerintah China melarang KKKS dari Indonesia mengebor diwilayah NKRI dan diakuisi oleh hukum Internasional didalam UNCLOS PBB,” ucapnya tegas.
Ia menyatakan dasar dari pengajuan diplomatik tersebut adalah Nine Dash Line.
“Jadi China hanya mengklaim atas dasar tafsir sendiri Nine Dash Line yang tidak diakui oleh seluruh masyarakat Internasional,” imbuhnya.
Secara terpisah Ahli Oseanografi Terapan Widodo S Pranowo menjelaskan konflik antar negara yang terjadi di dunia ini secara umum adalah karena konflik perebutan atau pengelolaan atau pemanfaatan sumberdaya. “Potensi ini juga ada di Laut China Selatan dan Laut Natuna (Utara),” kata Widodo.
Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri, pada tahun 2021 ini, memasuki umur 30 tahun berperan aktif dalam upaya diplomasi perdamaian di kawasan Laut China Selatan.
“Diplomasi penanganan potensi konflik di Laut China Selatan terkini yang dilakukan pemerintah Indonesia adalah melalui Lokakarya “The 30th Workshop on Managing Potential Conflict in the South China Sea” pada 13-14 Oktober 2021 yang diselenggarakan oleh Pusat Strategi Kebijakan Luar Negeri Multilateral, Kementerian Luar Negeri, yang bekerja sama dengan Badan Informasi Geospasial (BIG), dan Center for South-East Asian Studies (CSEAS),” urainya.
Diplomasi perdamaian yang telah dilakukan, lanjutnya, adalah dengan melakukan riset atau penelitian dan pengembangan secara bersama-sama antar negara-negara di kawasan Laut China Selatan, yakni Indonesia, Republik Rakyat China, China Taipei, Viet Nam, Filipina, Malaysia, Thailand, Laos, Kambodia, Myanmar, Singapura dan Brunei Darussalam.
Diplomasi perdamaian melalui riset telah dilakukan selama kurang lebih 16 tahun. Salah satunya dengan terbentuknya kelompok kerja studi pasang surut dan dinamika muka laut. Pokja ini pada 13-14 Oktober 2021 melaksanakan ‘The 16th Working Group Meeting on The Study of Tides and Sea Level Change and Its Impacts on Coastal Environment in The South China Sea’.
Konsorsium Indonesia-Tiongkok melalui kerangka kerjasama Pusat Kelautan Iklim Indonesia Tiongkok (PKIIT) atau lebih dikenal secara internasional sebagai Indonesia China Center for Ocean Climate (ICCOC) pernah beroperasi 2009 – 2015, sebagai hasil kerjasama antara Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia (KKP) dengan State Oceanic Administration (SOA) People Republic of China.
“Bahkan penandatangan kerjasama yang dilakukan oleh kedua menteri tersebut disaksikan oleh Presiden Republik Indonesia dan Presiden Republik Rakyat China pada saat itu,” tuturnya.
Sehingga, jika menilik perjalanan panjang diplomasi perdamaian yang telah dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia tersebut di atas, maka menjadi cukup kaget ketika RRC baru-baru ini melakukan protes diplomatik kepada Indonesia, meminta Indonesia menyetop kegiatan pengeboran minyak di Laut Natuna (Utara).
Artinya, masih ada percikan-percikan konflik. Percikan tersebut, juga terlihat dari beberapa tekanan yang pernah terjadi antara Coast Guard China dan Coast Guard Indonesia terkait dengan dugaan kapal-kapal pelaku illegal fishing.
“Sehingga, belajar dari hal-hal tersebut di atas, sepertinya persiapan diplomasi tersebut perlu lebih ditingkatkan dengan penguatan-penguatan tertentu secara internal,” tuturnya lagi.
Penguatan internal tertentu tersebut, kata Widodo, mungkin bisa dilakukan dengan lebih mematangkan koordinasi internal antara Kementerian Luar Negeri, Kementerian Energi dan Sumber-Daya Mineral, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Dalam Negeri, Badan Nasional Pengelola Perbatasan, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Kementerian Koordinator Bidang Maritim dan Investasi, serta Kementerian Koordinator Bidang Ekonomi. Hasil penguatan inilah yang kemudian bisa dibawa kedalam lokakarya penanganan potensi konflik di Laut China Selatan yang setiap tahun diselenggarakan oleh Kementerian Luar Negeri.
“Sehingga menjadi tantangan yang lebih besar bagi Indonesia, sebagai agen penjaga perdamaian di kawasan Laut Natuna (Utara) dan Laut China Selatan, sebagai negara yang berdaulat, dan bisa mengajak secara bersama-sama dengan negara RRC dan seluruh negara di kawasan tersebut untuk bisa bermitra secara multilateral mengelola dan memanfaatkan sumberdaya laut dan bawah dasar laut untuk memperoleh keuntungan/kesejahteraan yang seimbang di antara negara-negara di kawasan tersebut. Dan mungkin perlu juga dijajagi oleh pemerintah Indonesia untuk menggandeng organisasi-organisasi profesional yang mungkin bisa lebih cair bekerjasama dengan mitra-mitra bidang ekonomi di negara-negara di kawasan Laut China Selatan tersebut,” pungkasnya.
Laporan : Natasha