KedaiPena.Com – Anggota Komisi III DPR RI Taufiqulhadi memastikan bahwa Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dibentuk berdasarkan nilai-nilai yang berkembang di nusantara atau kearifan lokal.
Nilai-nilai tersebut, kata dia, mencakup yaitu filsafat Pancasila, Ketuhanan yang Maha Esa, pluralisme, dan faktor eksternal terkait hak-hak asasi manusia (HAM) secara universal.
“Hanya saja tidak sebebas-bebasnya HAM dan demokrasi di Barat. Sebab, demokrasi itu justru tak akan berjalan tanpa adanya ketertiban masyarakat. Bahwa setiap UU itu harus menciptkan ketertiban, kalau tidak berarti gagal,” ujar Taufiqulhadi, ditulis, Rabu, (4/9/2019).
Khusus terkait dengan kebebasan pers, DPR tak mungkin mengekang kebebeasan pers. Demikian pula dengan pasal penghinaan presiden pada pasal 281 KUHP tetap mempertimbangkan faktor-faktor demokrasi dalam kontek Indoensia.
Menanggapi hal tersebut, Pengamat Hukum Abdul Fickar Hajar, menilai terkait pers sebaiknya diselesaikan melalui UU Pokok Pers.
“Kalau tidak, maka RUKHP ini akan menjadi kumpulan hukum pidana secara menyeluruh,” katanya.
Soal COC (Contempt of court– penghinaan pada peradilan) menurut Abdul Fickar, yang dilarang itu penyiaran langsungnya karena khawatir mempengaruhi saksi-saksi yang lain. Tapi, siaran itu masih bisa dilakukan secara tunda.
Abdul Fickar menyoroti kebijakan jabatan presiden yang memang harus dikritisi. Apalagi terkait kebijakan yang dibuat.
“Kecuali kalau pribadi personalnya, itu tak boleh, meski berdasarkan delik aduan. Tapi, mungkin perlu pemberatan hukum karena terkait kepala negara,” tukas Abdul Fickar.
Komnas HAM Soroti Pasal Penghinaan Presiden
Sementara itu, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyoroti sejumlah pasal salah satunya ialah terkait penghinaan terhadap presiden. Menurut Komnas HAM penghina Presiden tidak dapat dijerat pidana.
Apalagi, Mahkamah Konstitusi (MK) telah mencabut pasal itu dari dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
“Kalau dia mengancam (fisik) harus dimaknai sebagai kejahatan, tapi kalau orang melakukan kritik harusnya tidak dipidana, apa pun bentuk (kritiknya),” ujar Komisioner Komnas HAM Choirul Anam, terpisah.
Tidak hanya itu, kata dia, revisi KUHP bertentangan dengan keputusan MK jika tetap mengakomodasi pasal penghinaan presiden tersebut.
Aturan itu juga dinilai tidak dapat disandingkan dengan Pasal 19 dalam Deklarasi Universal HAM yang diumumkan oleh Majelis Umum PBB pada 10 Desember 1948 melalui resolusi 217 A (III).
“Kalau dia bekerja atas nama jabatan dan menimbulkan kebijakan yang salah ya boleh dikritik, dan itu sah-sah saja,” ujar dia.
Dia menilai juga ada kerancuan hukum dalam pasal pasal 218 ayat 1 RKHUP yang dimana berbunyi, setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.
“Sebab, tidak ada penjelasan mengenai batasan menghina dan mengkritik,” tandas dia.
Laporan: Muhammad Lutfi