Artikel ini ditulis oleh S. Indro Tjahyono, Eksponen Gerakan Mahasiswa 77/78.
Hari demi hari masyarakat semakin merasakan bahwa mekanisme kenegaraan seperti sudah lumpuh.
Presiden menyerukan bahwa “negara tidak boleh kalah dengan preman”.
Di lapangan, slogan ini ternyata omong kosong.
Kalau yang dimaksudkan adalah preman bertato yang menggunakan kekerasan untuk memaksakan kehendak pada warga lain, tidak usah polisi atau tentara, masyarakat bisa menghadapi sendiri.
Tetapi kalau preman berkerah putih yang melakukan kejahatan atau kriminalitas dengan menggunakan jabatannya apalagi berkolaborasi dengan pengusaha, negara ternyata bertekuk lutut.
Sikap permisif negara terhadap praktek mafia birokrasi, khususnya di bidang ekonomi sudah sangat mengkhawatirkan, terjadi bahkan sejak tahun 2014, demikian dikatakan oleh Prof Dr Anthony Budiawan.
Praktek ini berlanjut terus sampai sekarang , karena semua elemen birokrasi kecipratan hasil kejahatan ekonomi ini.
Mereka menerima, membiarkan ,dan mendukung praktek-praktek mafia yang melibatkan oknum-oknum pejabat semua eselon. Akhirnya kita tidak bisa membedakan mana negara dan mana mafia.
Semua pejabat negara sudah terlibat dalam konspirasi yang diorganisir secara struktural dan masif oleh para mafia.
Bahkan melalui lembaga negara (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) para mafia bisa mendorong lahirnya kebijakan yang mendukung dan melindungi kegiatan manipulatif dan koruptif mereka.
Korupsi Kebijakan dan Kebijakan Mendukung Korupsi
Dari situlah muncul istilah korupsi melalui kebijakan atau korupsi kebijakan (publik) yang dipraktekkan oleh para mafia.
Dua istilah itu sebenarnya berbeda, korupsi melalui kebijakan adalah menciptakan kebijakan sehingga korupsi yang dilakukan para mafia memungkinkan dan bisa berjalan.
Sedangkan korupsi kebijakan adalah menyusun kebijakan kriminal dengan memanipulasi klausul yang bertentangan dengan azas kemaslahatan publik.
Monumen nasional kebijakan kriminal adalah kebijakan untuk untuk merevisi UU KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Kebijakan ini dikeluarkan justru pada saat KPK semakin efektif memberantas korupsi.
Kedua adalah UU Cipta Kerja, pada saat negara sedang giat melakukan penegakan hukum dan meningkatkan kepatuhan publik, kekuatan hukum untuk mengatur aktivitas masyarakat justru diberangus.
Di sini mulai ada tiga sirkumstansi yang saling terkait, yaitu oligarki beserta pendukungnya sebagai aktor utama, mafia sebagai approach, dan KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) sebagai modus.
Selain itu ada line of bussinessnya mulai dari judi, narkoba, perdagangan orang, perampasan tanah, pertambangan, penggelapan pajak, impor ilegal/penyelundupan, perijinan, kedokteran (obat dan alkes), dan lain-lain.
Secara terpisah, praktisi hukum Sugeng Teguh Santosa memberi contoh apa yang terjadi pada mafia tambang yang berakibat dirinya mendapat ancaman hukum.
Kejahatan mafia ini sangat terorganisir, terstruktur dan masif. Skala kegiatannya meliputi internasional, nasional, dan lokal yang melibatkan lembaga negara, swasta, dan lembaga bisnis.
Selain untuk meraup keuntungan besar, organisasi mafia juga menyusup ke entitas politik (menyelundupkan pasal dalam UU dan permainan curang KPU) serta terorisme.
Keberadaan mafia bahkan dibackup secara tidak langsung oleh sistem peraturan perundangan.
Hal itu misalnya melalui kebijakan pembatasan penyadapan telpon yang bisa dilakukan KPK, pengebirian PPATK, penyebar info pencucian uang bisa dituntut hukum, sekeji apapun tindakan mafia tidak ada hukuman mati seketika, dan banyak lagi kebijakan diskretif tercantum UU Ciptakerja.
Indonesia Sudah Menjadi Negara Mafia
Moises Naim dalam bukunya “Mafia States: Organized Crime Takes Office“ mengatakan, jika realitas tersebut ada di Indonesia, maka NKRI memenuhi kriteria untuk disebut sebagai Negara Mafia (Mafia State).
Dalam buku tersebut Negara Mafia adalah sistem negara ketika pemerintah berhubungan dengan organisasi kriminal; termasuk pejabat negara, kepolisian dan militer yang turut serta dalam upaya kejahatan dan penyalahgunaan kewenangan.
Menurut saya, walau secara de jure NKRI didasarkan UUD sebagai sumber hukum, tetapi secara de facto adalah negara mafia yang melakukan kejahatan dengan melawan hukum atau mencampurkan legalitas dan ilegalitas untuk mencapai tujuan kejahatan mereka.
Campusnesia.co.id menyebut ada 19 praktek mafia di Indonesia yang meliputi sektor (1) Minyak goreng, (2) Karantina Covid 19, (3) Bansos Pandemi Covid 19, (4) Ekspor Benur, (5) Pemikian Tanah, (6) Wasit Persepakbolaan, (7) Perpajakan, (8) Hukum dan Peradilan, (9) Kartu Tanda Penduduk (E-KTP), (10) Obat dan Alat Kesehatan (11) Penyelenggaraan Pemilu, (12) Jabatan ANS, (13) Perbankan (BLBI), (14) Publikasi Pencitraan, (15) Kekerasan dan pembunuhan WNI, (16) Alutsista.
Jangan pandang enteng sektor yang ditangani para mafia yang kelihatannya receh. Mafia Sisilia yang paling besar di dunia lahir pada akhir 1800-an karena mengontrol produksi dan perdagangan jeruk lemon di Eropa setelah diyakini buah tersebut mampu menghentikan penyakit skorbut dan kudis yang melanda Eropa.
Setelah meraup keuntungan dengan dana besar di tangannya mafia ini segera menyusup ke sistem ekonomi dan politik Italia dan Amerika.
Apa Rencana Aksi Pemberantasan Mafia?
Ilegalitas atau usaha ilegal memberi insentif yang sangat besar bagi para mafia untuk tetap eksis dan menumbuhkan mafia lain. Apalagi jika omzet usahanya tak terbatas skalanya.
Mereka memangkas banyak biaya perizinan, mulai pengurusan badan usaha, ijin usaha, ijin operasi, ijin kelaikan alat produksi, overhead kantor, biaya tenaga-kerja perantara, serta berbagai kewajiban yang dibebankan oleh peraturan perundangan.
Negara yang “ketatanegaraannya” menjalankan praktek mafia oleh pengamat politik Edgardo Buscaglia disebut negara mafia.
Meksiko adalah negara mafia yang menjalankan “Mafiacracy” yang didukung dua subsistem lain yakni kleptocracy (negara pencuri) dan plutocracy (negara yang dikendalikan uang dan orang punya uang).
Buscaglia menyebut di negara mafia, kekuasaannya didukung oleh tiga pilar yang saling berkelindan, yakni lembaga negara, lembaga ekonomi, dan organisasi kriminal.
Karena itu masih relevankah orang yang menyerukan “Berantas Mafia” jika negara adalah bos dari mafia itu sendiri.
Bagaimana caranya dan agenda apa yang bisa dilakukan untuk memberantas mafia Indonesia.
Pada titik ini Eros Djarot mengajak semua aktifis segara menyusun rencana atau agenda aksi yang jelas dalam memberantas mafia yang sebelumnya kita kemas dalam isu oligarki.
Menjawab hal ini M Jumhur Hidayat mengatakan: “Jangan memikirkan pemerintahan transisi dulu, untuk memberantas para mafia saya yakin dibutuhkan gerakan massal yang bersifat masif dalam jumlah besar”.
Ikut hadir dalam FGD JALA (Jaringan Aktivis Lintas Angkatan) yang dihadiri tak kurang dari 60 aktifis mahasiswa adalah Jumhur Hidayat tokoh gerakan buruh, Paskah Irianto tokoh gerakan aktifis Jawa Barat, Immanuel Ebenezer yang sebelumnya tokoh relawan Jokowi, Hassanudin, tokoh aktivis Garut, dan Ilham Yunda eksponen Prodem 98.
[***]