MELIHATÂ duel anarkis antara pengemudi transportasi online versus konvensional menjadi miris. Insiden ini menegaskan bahwa Ibukota itu keras bung.
Kontroversi usaha transportasi online ini merupakan efek dari globalisasi kapital. Sehingga para orang kreatif ini mencari bentuk revolusi industri transportasi jilid kesekian. Artinya ada perubahan dari sebuah kenyamanan penumpang yang berubah. Berubah dari bau ke wangi, lama ke cepat, judes ke senyum faktor inilah dari munculnya pop culture di Indonesia.
Pengusaha global berlomba dalam mencari makan di ibukota. Tapi bedanya, berkat bantuan pinjaman dan kucuran bank dapat dibangun usaha bentuk mitra dalam transportasi. Tapi bagaimana dengan taksi konvensional?
Sebenarnya kedua perusahaan taksi ternama Blue Bird dan Ekpress Taksi juga memiliki investor yang mumpuni dan ujungnya kekuatan bisnis.
Meminjam pernyataan praktisi bisnis, Rhenald Kasali yang saat ini Indonesia alami ‘Sudden Shift’ yakni perubahan yang mendadak dan tiba-tiba saja terjadi. Kini terjadi, tiba-tiba saja dekade 5 tahun ini mulai demam online hingga ke sektor transportasi.
Ditarik ke masa lalu. Pada tahun 1971 fenomena taksi plat hitam hits pada saat itu. Gubernur Ali Sadikin kemudian membuat aturan taksi harus miliki badan hukum. Saat itu aturan tentang perusahaan taksi minimal 100 kendaraan maka hanya pengusaha seperti Blue Bird saja yang mampu mendapat pinjaman dari Bank.
Lalu, bagaimana taksi bodong lain? Akhirnya mereka membentuk koperasi dan lahirlah tahun 1972 Koperasi Taksi sebagai pelopor koperasi taksi pertama. Persis kejadiannya dengan booming Grab dan Uber sekarang.
Regulasi Harus Tegas
Permasalahan yang muncul saat ini berujung di regulasi. Pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan jelas diatur tentang transportasi darat. Jadi serangkaian tuntutan kepada Uber dan grab pastinya bukan soal aplikasi. Blue Bird sendiri sudah keluarkan aplikasi bernama “My Blue Bird†nah ini baru inovasi bisnis tapi kenapa tidak booming?
Jika diminta untuk membentuk koperasi seperti layaknya Koperasi Taksi pada jaman dulu. Grab sudah lakukan. Lalu, apa lagi? Toh dengan konsep mobil rental. Namun, jika perusahaan taksi iri maka bisa saja pemerintah harus buat kebijakan KIR bagi seluruh kendaraan pribadi atau atas nama perusahaan transportasi semisal antar jemput sekolah, hotel dan armada karyawan.
Bagaimana dengan Gojek dan Grabbike, alih-alih sebagai transportasi mudah dan murah. Bisa saja dengan kebijakan bersama membuat tanda khusus di sepeda motor dan diperbolehkan untuk ojek. Semisal dengan stiker sebagai bea pajak bisnis transportasi, atau kartu khusus ojek. Sama halnya dengan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang miliki sertifikasi dari Balai kerja BNPTKI. Nah resmi toh.
Namun, lagi-lagi hingga saat ini pemerintah belum ada semacam rapat kerja antara pemilik perusahaan transportasi, paguyuban pengemudi, Organda dan pemerintah. Padahal bisa saja dengan kepentingan masyarakat yang utama walaupun tidak ada niatan revisi UU saat ini bisa juga dikeluarkan Permenhub. Semua bisa saja asal mau.
Terlepas dari sana, toh perusahaan Taksi besar juga mawas diri, intropeksi atas pelayanan yang dibuat. Dekade 2000 masih diingat saat ekspansi Blue Bird di daerah kota besar yang mematikan industri kendaraan rental, taksi koperasi daerah dan perusahaan mikro. Mereka pun mendemo Blue Bird. Lalu sekarang Blue Bird mendemo Uber dan Grab. Apakah akan berlanjut kisruh bidang transportasi?
Perkembangan e-commerce meningkat tapi sisi hukumnya lemah, tanpa disadari ketika pengguna transportasi online mendaftarkan nama, email, nomor telepon, alamat jemput, tujuan dan kartu kredit. Pertanyaannya, apakah aman? Data kita benar-benar disimpan dengan baik atau malah ada jual beli data. Ini yang lemah dan tak banyak kita sadari hanya ribut tentang teknis tanpa disadari kejahatan cyber crime bisa menjamur dengan data pribadi kita diamanatkan kepada perusahaan asing yang numpang bisnis di Indonesia.
Siapakah yang merugi. Bukan pengguna tapi akhirnya kekisruhan ini berakhir di hancurnya mata pencaharian sopir yang nota bene masyarakat kelas menengah bawah. Karena tanpa sadar mereka sudah masuk dalam ring pertarungan blok bisnis semata. Sehingga lagi-lagi karena uang perpecahan horizontal masyarakat terjadi.
Oleh Priyo Pamungkas Kustiadi, Sekjen Jaringan Kemandirian Nasional, Mahasiswa Pascasarjana FISIP Universitas Nasional Jakarta