KedaiPena.Com – Hasil hitung cepat yang dilaksanakan Lingkaran Survey Indonesia (LSI) dan Lembaga Survei Kebijakan Publik (LSKP) untuk Pilkada Kabupaten Kutai Kartanegara menempatkan pasangan Rita Widyasari-Edi Damansyah unggul telak atas pasangan lainnya.
Lembaga survey ini mencatat, Rita Widyasari meraih 88,76 persen. Sementara tiga kandidat lainnya tidak ada yang mampu meraih suara hingga 5 persen. Sebenarnya, bagaimana sosok Rita sehingga bisa menang mutlak di pilkada?
Berikut wawancara ekslusif Jurnalis KedaiPena.Com, Oskar dengan Rita di Jakarta beberapa waktu lalu.
Bisa diceritakan masa kecil Anda seperti apa?
Kalau cerita saya, saya termasuk anak yang tomboi. Cerita ibu saya, dulu beliau mengharapkan anak laki-laki, karena kakak saya perempuan. Kakak saya kan lahir tahun 72, nah tahun 73 ibu hamil lagi. Ibu saya bahkan pernah cerita pengen digugurkan. Jadi saya sepertinya tidak diharapkan.
Dari umur 4 bulan kandungan, ibu saya itu sempat loncat-loncat supaya saya gugur. Tapi ternyata saya bertahan sampai saya lahir. Nah, pas saya lahir, muka saya itu persis bapak saya. bahkan dibilang foto kopi, sampai jari-jari sama.
Saya lebih cowok dibanding kakak saya. Kakak saya itu lebih senang kegiatan cewek, seperti memasak, kalau saya enggak. Saya lebih suka kegiatan pria, mungkin juga karena doa ibu saya. Sampai ketika saya diberikan rok, saya marah-marah. Karena saya lebih senang dibelikan celana. Jadi sampai umur tertentu, saya lebih suka pakai celana.
Agar saya bisa seperti kelihatan cewek, saya sampai sempat diikutkan fashion show. Supaya jadi perempuan, pake kebaya gitu.
Ketika sekolah, kan ada mata pelajaran prakarya. Nah kalau kakak saya, lebih suka membuat tas dengan menyulam, nah kalau saya lebih senang bikin sapu lidi. Karena saya suka nyapu. Sama beli kain, saya potong segi empat untuk jadi sapu tangan menutup hidung. Karena saya sebenarnya gak suka memel (ribet).
Kalau kakak saya suka buku, dia suka buku tentang putri, nah kalau saya sukanya komik yang berantem-berantem gitu. yang detektif tintin, donald bebek. Sampai ibu saya bilang harus kembar baju saya dengan kakak saya. Sampai saya dibelikan rok. Tetap saja saya pengennya celana.
Sampai SMA, saya itu duduknya sama cowok. Tapi SD duduk sama cewek. Saya lebih enak duduk sama cowok. Dulu kelompok saya di SMA itu kelompok motor, saya suka nge-trek.
Sesekali ibu saya tetap ingin saya ikut fashion show, karena memang tinggi saya terbilang tinggi dari teman-teman sebaya. Yang menarik, saya juara pula, padahal ikutnya terpaksa.
Waktu saya mau kuliah, bapak saya mau belikan mobil. Saya bilang pada bapak, inginnya dibelikan mobil jip, bukan sedan. Bawaan saya, mobilnya pokoknya harus tongkrongan cowok.
Sampai saya sempat disekolahkan sekretaris, di Akademi Sekretaris Tama Bakti Bandung. Di situ tidak ada cowoknya, semuanya cewek. Saya digiring sampai segitunya. Saya tidak pernah pacaran sampai SMA, sampai kuliah di semester berapa saya lupa, tidak pacaran. Tapi kalau ditaksir cowok ya banyak juga sih. Hehehe.
Tapi saya sekarang saya cewek banget, menyenangkan ibu saya. Rambut saya sekrang panjang, kalau dulu model Demmi Moore, pendek gitu. Jadi, Alhamdulillah ke sini-sininya saya sadar kalau saya cewek. Bahkan saya merasa sangat perempuan, melakukan apa yang seharusnya perempuan lakukan, meski metalnya (musik kesukaannya) tetap. Karena itu bagian dari hobi.
Musik metal buat saya itu susah. Karena kan tinggi suaranya, dimainkan dengan nada keras dan kencang. Suaranya juga beda. Jadi saya sangat menghargai tingkat kesulitan itu. Kok orang itu bisa memainkan musik metal, kalau musik pop kan gampang, pake keyboard juga jadi. Butuh keahlian khusus.
Saya waktu kecil, meski nakal, saya juara terus. Juara 1, 2, 3. Tidak pernah keluar dari tiga besar. Kelas 4 sampai 6 SD itu saya juara 1 terus. Sampai saya jadi murid teladan. Jelek-jelek gini saya juara. Tapi saya tetap kalah sama kakak saya. Dia itu tidak pernah juara 2, karena dia kutu buku. Tapi kakak saya tidak pernah murid teladan, karena saya olah raga juara, bisa baca puisi, juara lari sprint, tenis pernah. Kalau baca puisi, itu ngalir dari bapak saya. Bapak saya itu suka baca puisi.
Waktu kecil, sangking ibu saya ingin saya jadi perempuan, saya sampai sempat disuruh ikut menari. Dan juara-juara pula. Saya bahkan sempat dibayar. Saya dari kelas 4 SD sampai kelas 2 SMP, saya penari Dayak dan Dance Modern. Namanya Kutai Dancing Club. Nah, kalau menari itu kan ada rok-roknya, nah saya langsung minta yang ada celananya. Kalau tidak ada roknya saya sempat ancam tidak mau menari.
Nah hal-hal itu jadi ekstrakulikuler saya, karena saya kan orangnya tidak pernah diam. Saya pernah jadi mayoret marching band, balapan saya juga suka. Kalau dibilang, temen-temen saya banyak di Kukar ini. Makanya, pas saya mau nyalon Bupati Kukar, mereka sempat bilang ‘Bupatiku, Sahabatku’. Karena sahabat saya banyak banget dari beberapa komunitas.
Dulu bapak saya kan sudah jadi pejabat, tapi saya bergaulnya tidak milih-milih. Saya bergaul dengan semua orang. Saya juga tidak pernah merasa bapak saya pejabat, jadi kemana-mana ya naik sepeda motor.
Soal pendidikan, bapak saya itu keras. Kalau malam, mulai jam 7 sampai 9, kami harus belajar. Kalau tidak dia marah. Dan kami di akhir kenaikan kelas itu pasti ditanya, juara gak?. Kalau juara dapat juara. Nah, kalau adik saya almarhum (sudah meninggal) ditanyanya, naik kelas enggak. Karena adik saya itu nakal dan susah dibilanginnya. Hehehe.
Nah, pas SMA di Samarinda, saya mulai tidak fokus. Sudah rangkin 10 ke atas deh. Saya mulai bosen belajar.
(Oskar/Foto: AntaraFoto)