Artikel ini ditulis oleh Arief Gunawan, Pemerhati Sejarah.
Bulan Desember 1955 koran Indonesia Raya bikin polling pembaca yang menginginkan Bung Hatta jadi presiden.
Hubungan Hatta dan Sukarno waktu itu sudah renggang, karena perbedaan pandangan dalam pengelolaan negara, yang berujung mundurnya Hatta sebagai wapres, pada Desember 1956.
Polling di suratkabar pimpinan Mochtar Lubis itu intinya untuk mengetahui aspirasi masyarakat yang menginginkan pemimpin yang merupakan anti-tesis dari Sukarno.
Hatta yang negarawan-cendikiawan ternyata tidak menghiraukan hasil polling yang mengunggulkan dirinya itu, karena berpegang teguh pada prinsip politik yang diyakininya. Meski suara yang mendukungnya di polling tersebut dua setengah kali lebih besar ketimbang buat Sukarno.
Metode polling di era tahun 1950-an (era demokrasi liberal) waktu itu sudah dikenal, tetapi tidak pernah benar-benar dipakai sebagai instrumen untuk menjaring pemimpin seperti hari ini.
Karena para tokoh bangsa saat itu umumnya naik ke tampuk kekuasaan bermodalkan garis perjuangan yang mereka cita-citakan. Berbekal integritas, prestasi, dan keberpihakan yang kuat untuk membebaskan bangsa dari belenggu penjajahan.
Untuk mencapainya umumnya mereka mendisiplinkan diri dengan menjauhi glamouritas. Lebih memilih menempuh studi dengan memperdalam ilmu untuk membebaskan rakyat dari ketidakadilan, yang menghasilkan citra diri sebagai pejuang intelek pembela mayoritas rakyat.
Hal ini sangat bertolak belakang dengan para akademisi atau intelek kampus hari ini yang sebagian di antaranya memilih untuk menjadi pollsterRp, yang dengan metode manipulatif berbasis uang dari para cukong atau bandar yang tergabung di dalam oligarki membangun persepsi menyesatkan kepada rakyat mengenai figur calon presiden.
“Mereka memanfaatkan pengetahuan statistik untuk memanipulasi persepsi rakyat tentang calon presiden. Hasilnya adalah presiden boneka,” tegas tokoh nasional Dr Rizal Ramli dalam wawancara dengan sebuah channel YouTube, di Jakarta, baru-baru ini.
Celakanya lagi, lanjut Rizal Ramli, media massa kita memuat hasil-hasil pollsterRp tersebut tanpa bersikap kritis yang seharusnya mempertanyakan siapa yang membiayai, apakah independen, apakah kredibel, dan bagaimana track record lembaga pollster tersebut.
Strategi untuk memenangkan Pilpres 2024 yang akan datang esensinya sama saja dengan strategi memenangkan Pilpres tahun 2014 yang lalu. Intinya adalah mengutamakan pencitraan.
Sedangkan tekniknya, pertama, para cukong atau bandar yang tergabung di dalam oligarki menyewa lembaga-lembaga pollsterRp secara borongan (lebih dari satu lembaga pollsterRp).
Kedua, menyewa media massa dengan sistem kontrak, dimana media massa tersebut harus mengutamakan pemuatan berita-berita capres yang dibiayai oleh cukong atau bandar di dalam oligarki. Tak peduli meskipun isi beritanya hanya persoalan ecek-ecek.
Seperti aksi masuk gorong-gorong, melempar bingkisan di jalanan, adu gede pasang baliho, main tiktok, basa-basi dengan warga, sampai sidak ke WC umum SPBU.
Ketiga, menyewa para analis politik bayaran. Statement mereka dikutip oleh media massa yang telah disewa untuk “menguatkan” hasil-hasil kerja pollsterRp dalam mendukung capres yang dibiayai cukong atau bandar yang merupakan bagian dari oligarki.
Keempat, menyewa partai politik. Dimana para elitnya pada dasarnya berwatak greedy dan transaksional serta terbiasa makan uang batil dari kader-kadernya yang juga doyan korupsi dan uang suap.
Gurita oligarki ini pada dasarnya juga menguasai lembaga-lembaga pemilu dan lembaga-lembaga hukum yang ada hubungannya dengan persoalan pemilu.
Tahap kelima adalah membentuk “tim relawan” yang seolah-olah merupakan pendukung fanatik dengan semangat “maju tak gentar membela yang bayar”. Termasuk pula mengoperasionalkan armada buzzersRp yang siap menyembur siapa saja yang bersikap kritis terhadap capres yang mereka dukung.
Serangan buzzersRp ini tidak mengenal batas etika. Mereka siap memfitnah, mengadu domba agama, menghancurkan perekatan sosial, hingga menghina masalah fisik siapapun, demi membela capres yang mereka dukung.
Sedangkan yang keenam adalah tetap mempertahankan Presidential Treshold sebesar 20 persen untuk menjegal figur yang memiliki integritas, prestasi, track record, dan berciri problem solver, agar tidak dapat maju sebagai calon presiden.
Demikianlah, dengan cara-cara seperti ini oligarki beserta para cukong dan para bandar di dalamnya menyempurnakan pembajakan terhadap demokrasi di negeri ini untuk mendapatkan kembali capres boneka pro Beijing dan pro oligarki. Yang bukan bekerja untuk mayoritas rakyat.
Yang tatkala menjadi presiden ia akan menghamba dan bersujud kepada mereka, sambil berkata: “Paduka yang Mulia, akulah pelayanmu yang selalu setia”.
[***]