2 Desember silam boleh jadi adalah hari istimewa untuk warga Bantarjati Atas, Kota Bogor, Jawa Barat. Pasalnya, hari itu mereka mendapat sambungan listrik, gratis. Yang luar biasa, penyambungan itu secara simbolis dilakukan Presiden Joko Widodo.
Para lawan politik Jokowi bisa saja menuding Presiden tengah curi strat, berkampanye terselubung. Dengan memanfaatkan jabatannya sebagai Presiden, Jokowi memang punya leverage untuk melakukan apa saja.
Tapi, tulisan ini tak hendak menyentuh area politik. Saya hanya mencoba mendekatinya dari sisi praktik bisnis belaka. Satu hal yang pasti, melakukan sambungan listrik bukanlah tanpa biaya. Buat mayoritas rakyat kita, jumlahnya bisa disebut besar, Rp933.000. Jumlah itu untuk biaya instalasi Rp450.000, penyambungan Rp421.000, materai Rp6.000, SLO dan token listrik masing-masing Rp40.000 dan Rp10.000.
Jokowi menyebut, masih ada sekitar 1,2 juta rumah yang belum dialiri listrik. Nah, silakan hitung, berapa biaya yang dibutuhkan untuk mengalirkan listrik ke tiap rumah penduduk di negeri tercinta.
Tapi tunggu dulu. Biaya Rp933.000/sambungan itu berlaku untuk daerah normal. Angkanya bisa menggelembung luar biasa, bila sambungan dilakukan di daerah terluar, terpencil, dan tertinggal (3T). Jaringan yang dipasang harus melintasi lembah dan bukit serta pinggir-pinggir hutan.
Bisakah anda bayangkan, berapa ongkos angkut tiang-tiang listrik dari gudang-gudang PLN ke lokasi penyambungan? Berapa juga biaya per meter kabel tegangan tinggi dan membentangkannya ke wilayah tersebut, agar bisa mengaliri listrik di lokasi penyambungan. Berapa biaya SDM yang dikerahkan? Dan masih seabreg biaya lain.
“Untuk di Jakarta dan Jawa hanya Rp1 jutaan per rumah tangga. Sementara di pedalaman Papua dan Maluku biaya pasang listrik per rumah tangga bisa mencapai Rp150 juta-Rp200 juta. Biaya elektrifikasi mahal karena jumlah pelanggan sedikit sementara mobilisasi peralatan sulit,” kata Dirut PLN Sofyan Basir, usai penandatanganan Kesepakatan antara PLN dan Kejaksaan RI di Nusa Dua, Bali, Kamis (12/4/2018).
Ngeri!
Menurut data pemerintah lagi, jumlah daerah 3T itu tersebar di sekitar 5.000 desa. Kalau dari 1,2 juta rumah yang belum dialiri listrik, komposisi yang berada di daerah 3T 30% saja, maka ada 360.000 rumah. Nah, silakan saja kalikan jumlah itu dengan Rp150 juta/sambungan. Ngeri, kan?
Pertanyaannya, siapakah yang menanggung semua biaya itu? Presiden? Pasti bukan. APBN juga tidak. Jadi? Siapa lagi kalau bukan PLN. Padahal, secara bisnis normal, tindakan melistriki daerah 3T sama dengan bunuh diri. Mau sampai kapan pun, yang namanya break event point (BEP) alias balik modal tidak bakal pernah terjadi. Lha gimana bisa, kalau biayanya ratusan juta, tapi pelanggan membayar listrik dengan harga subsidi yang hanya Rp60.000-Rp100.000an/bulan?
Sudah begitu, bukan mustahil mereka hanya sanggup membayar tagihan untuk 3-4 bulan pertama. Selanjutnya, nunggak karena memang benar-benar miskin. Duit yang diperoleh sudah ludes untuk kebutuhan makan sehari-hari yang sangat ala kadarnya.
Apesnya lagi, PLN tidak bisa (tidak boleh?) memutus aliran listrik sesuai ketentuan. Artinya, lilstrik harus tetap dialirkan, agar citra penguasa tetap kinclong. Soal direksi PLN harus putar otak dan akrobat untuk mengatasi bleeding, ya sudah nasibnya lah. Siapa suruh mau jadi direksi. Hehehe…
Pertamina berhasil mencuri perhatian dan empati publik karena mengemban misi BBM satu harga di seluruh Indonesia sejak awal 2018. Kebijakan ini jelas sangat membebani keuangan perusahaan. Itulah sebabnya, baru beberapa bulan melaksanakan program ini, neraca Pertamina langsung kebakaran. Pada periode Januari-Februari 2018 saja, Perseroan rugi Rp3,9 triliun.
Tahukah kita, bahwa kebijakan satu harga listrik sudah diemban PLN sejak perusahaan itu mbrojol berpuluh tahun silam. Tentu saja, program ini amat menggembirakan rakyat. Contohnya, masyarakat Pulau Nangka, Desa Tanjung Pura, Kecamatan Sungai Selan Kabupaten Bangka Tengah, Bangka Belitung. Sejak April silam jaringan listrik PLN masuk ke pulau tersebut. Warga yang berjumlah 70 kepala keluarga (KK) sekarang bisa menikmati listrik dengan hadirnya Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) berkapasitas 2×100 kilo Watt (kW).
Untuk menerangi rumah sebanyak 70 KK, PLN harus mendatangkan PLTD yang berbahan bakar solar. Bisa dibayangkan betapa repotnya petugas PLN di lapangan mengangkut solar ke dusun terpencil itu. Lalu, bisakah iuran listrik 70 KK yang berprofesi sebagai nelayan tadi menutupi biaya operasi dan produksi listrik di sana?
Amboi, betapa dahsyatnya beban keuangan BUMN yang mengembang misi sosial (untuk tidak menyebut; membiayai ongkos politik penguasa). Untungnya, sejak beberapa waktu lalu Kementerian BUMN lumayan sukses menjadi dirijen untuk mengorkestrai 35 BUMN dalam menanggung biaya elektrifikasi seluruh negeri. Melalui program Sinergi BUMN, PLN dan dari 34 BUMN lain gotong-royong menyalurkan listrik gratis. Sebagai tahap awal, ada 130.248 KK dengan target tersambung 100.970 KK di Desember tahun ini. Hingga 30 November, jumlah yang tersambung sudah 60.798 KK, melampaui target di 30 November yaitu 60.000.
PR yang lain
Di luar kebijakan satu harga dan target elektrifikasi, tim di bawah komando Sofyan juga harus berkutat menyiasati mahalnya harga batubara dan gas untuk menghidupkan pembangkit-pembangkitnya. Masalah lain yang tidak kalah pelik adalah fluktuasi nilai tukar rupiah. Maklum, komponen biaya pabrik setrum ini kebanyakan justru dalam dolar. Padahal, pendapatannya justru melulu dari rupiah.
Kerugian akibat selisih kurs (karena eksposur utang dalam dolar) sampai triwulan ketiga 2018 mencapai Rp18,5 triliun. Saat angka ini terekspos, publik langsung memaknai adanya masalah amat serius yang menyebabkan neraca berdarah-darah.
Kepala Satuan Komunikasi Korporat PLN I Made Suparteka menjelaskan, kerugian akibat selisih kurs muncul karena keharusan perusahaan melaporkan kinerja keuangan dalam mata uang rupiah. Kendati sebagian besar pinjaman PLN masih akan jatuh tempo pada 10-30 tahun lagi, berdasarkan standar akuntansi yang berlaku dan hanya untuk keperluan pelaporan keuangan, maka pinjaman Valas tersebut harus diterjemahkan (kurs) ke mata uang rupiah. Jadi, secara akuntasi, kerugian itu bersifat unreleased loss atawa belum jatuh tempo. Kalau di pasar valas, disebut potential loss, belum terjadi sampai dieksekusi buy atau sell-nya.
Selain itu, guna meringankan beban keuangan, Sofyan dan timnya telah melakukan reprofiling pinjaman. Hasilnya, diperoleh pinjaman baru dengan tingkat bunga yang cukup rendah dan jatuh tempo lebih panjang menjadi 10-30 tahun.
Dari sisi kinerja operasional, sampai kuartal III 2018 PLN mencatat kenaikan nilai penjualan tenaga listrik Rp12,6 triliun atau 6,93% menjadi Rp 194,4 triliun. Sedangkan volume penjualan sampai September 2018 sebesar 173 Terra Watt hour (TWh) atau tumbuh 4,87% ketimbang tahun lalu sebesar 165,1 TWh.
Sayangnya, kendati sudah babak-belur dan jungkir-balik mengelola perusahaan, tidak jarang menajamen diterjang persoalan lain. Yang terbaru, mereka harus mondar-mandir ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) gara-gara PLTU Riau 1.
Saat bertemu di Posko Bencana Palu Sigi Donggala Oktober lalu, saya bertanya kepada Sofyan soal ini. Dengan pe-de alias percaya diri dijelaskannya, bahwa dia clear. Itu sebabnya mantan bankir ini yakin bakal baik-baik saja. Semoga demikian.
Belum lagi persoalan yang disodorkan teman-teman Serikat Pekerja. Mereka baru saja melontarkan ancaman mogok kerja karena tidak puas gugatannya ditolak Pengadilan Hubungan Industrial (PHI).
Sampai di sini, kok saya merasa tugas direksi BUMN berat sekali. Mereka harus mengatasi banyak problem, yang celakanya bukan persoalan teknis menajamen belaka. Tapi juga tidak jarang menjadi ‘alat politik’ rezim dan pelbagai rongrongan lain. Sudah jadi risiko? Ya, bisa jadi demikian. Tapi, kita cuma bisa berharap, semoga semuanya berakhir yang terbaik untuk PLN, terbaik untuk bangsa dan rakyat Indonesia.
Oleh Edy Mulyadi, Direktur Program Centgre for Economic and Democracy Studies (CEDeS)