BANYAK pihak yang bergerak di sektor swasta mulai berkeluh kesah terhadap pola gerak BUMN di era Jokowi. Mereka umumnya menilai BUMN saat ini “sukses” mematikan swasta dari persaingan bisnis di tanah air.
Bukti yang paling jelas adalah fakta dari Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional Indonesia (Gapensi) di awal tahun 2019, yang menyebutkan sekitar 45 ribu perusahaan konstruksi swasta telah gulung tikar selama era Jokowi.
Belum ada saja suara dari asosiasi yang lain. Tapi sayup-sayup suara-suara keluhan mulai terdengar.
Salah seorang teman yang bergerak di kelistrikan misalnya, mengritisi sepak terjang PLN yang saat ini merambah juga bisnis pertambangan, bisnis gas, EPC di solar pv, hingga bisnis rental power bank.
Istilah teman saya tersebut, semua proyek yang ada saat ini seolah mau “dikekap” BUMN, sampai proyek katering pun mau diambil mereka, selorohnya.
Teman lain bercerita, beberapa BUMN konstruksi misalnya, saat ini sedang membuat anak-anak perusahaan yang hendak mengejar proyek-proyek energi termasuk mencari sumur migas dan mengembangkan pembangkit listrik tenaga sampah.
Teman yang lain lagi bercerita, BUMN-BUMN termasuk Pertamina kini bahkan sedang berusaha masuk ke bisnis ‘financial technology’ (fintech). Ada info juga bersama BUMN-BUMN tambang sedang berkumpul untuk membuat anak perusahaan pengelolaan sampah B3.
Dari cerita-cerita tersebut, tampak BUMN-BUMN terlampau kreatif, menggusur lahan bisnis swasta, sampai kehilangan fokus pada ‘koor’ bisnis masing-masing. Sehingga kalah dari negara tetangga.
Misalnya, bila dibandingkan dengan Petronas di Malaysia, Pertamina semakin jauh tertinggal. Janji Jokowi saat kampanye tahun 2014 untuk Pertamina dapat mengejar Petronas, tak akan pernah terwujud hingga berakhir masa jabatannya.
Reuters sampai membuat liputan khusus pada 7 Marer 2019, yang isinya membandingkan kedua perusahaan minyak ini. Tetapi dengan judul yang menyakitkan: “Unlikely Twins and Diferring Fortunes: Malaysia’s Petronas and Indonesia’s Pertamina”.
Kemudian, belum lagi cerita sedih ‘holding’ BUMN tambang yang dipimpin Inalum dalam akuisisi 51% saham Freeport. Ternyata kesepakatan dengan Freeport lebih banyak buntung ketimbang untung.
Dengan memaksakan membayar tunai sebelum kontrak berakhir di 2021, Indonesia telah kehilangan potensi ratusan triliun rupiah pemasukan dari pelanggaran lingkungan Freeport, terpaksa ikut patungan dalam pembangunan smelter, kehilangan pemasukan deviden hingga 3 tahun ke depan, tidak dapatkan kuasa operasi, dan hanya mendapatkan sekitar 18% economic benefit selama 4 tahun ke depan.
Sementara bunga utang global bond sebesar 5-6% dalam US$ tetap harus kita bayar sejak tahun ini hingga lunas.
Sebagai penutup, kita akan bandingkan kinerja BUMN pada tahun 2014, awal naiknya Jokowi, dengan kinerja saat ini.
Cara menilai kinerja BUMN yang paling objektif adalah dengan menggunakan rasio-rasio yang paling umum, yaitu dengan mengukur ‘return on equity’ (ROE) dan ‘return on asset’ (ROA) yang mengukur seberapa besar keuntungan yang dihasilkan seluruh BUMN dari modal (ekuitas) dan asset yang dimiliki.
Ternyata, ROE BUMN pada tahun 2018 hanya 7,4%, jauh di bawah ROE BUMN pada tahun 2014 yang sebesar 14,3%. ROA BUMN tahun 2018 2,3%, juga jauh di bawah ROA BUMN tahun 2014 yang sebesar 3,4%. Terlihat kinerja memble BUMN kita selama 4 tahun penerintahan Jokowi.
Berdasarkan kisah dan fakta di atas, wajar bila BUMN tidak mampu menjadi mesin yang dapat membawa keluar perekonomian Indonesia dari stagnasinya di level pertumbuhan 5%.
Oleh Gede Sandra, Pergerakan Kedaulatan Rakyat