SAAT kampanye Pilpres 2014 lalu Capres Jokowi berjanji secara lisan. Di bidang politik luar negeri (PLN), akan mendukung kemerdekaan dan mendirikan KBRI di Palestina. Namun, hingga kini Jokowi baru mendirikan Konsulat Kehormatan RI, bukan KBRI, di Ramalah.
Selanjutnya, Jokowi janji akan persulit investasi asing dan mengoptimalkan kemampuan rakyat. Janji ini kemudian diingkari, terbukti Jokowi justru menjanjikan kemudahan perizinan seperti di forum APEC, G20 dan lain-lain.
Padahal, janji kampanye ini dipertegas pada visi misi dan program kerja bernama Nawacita. Disebutkan, akan menghadirkan negara untuk melindungi bangsa dan memberikan rasa aman kepada seluruh warga negara, melalui PLN bebas aktif, keamanan nasional yang terpercaya, pembangunan pertahanan dilandasi kepentingan nasional, dan memperkuat jati diri sebagai negara maritim.
PLN akan digunakan sebagai usaha untuk meningkatkan ketahanan nasional dan mewujudkan agenda pembangunan.
Setelah menjabat sebagai Presiden, Jokowi memutuskan sasaran PLN Indonesia yakni terwujudnya kepemimpinan dan peran Indonesia dalam kerjasama internasional.
Berdasarkan sasaran itu ditetapkan Agenda 2015-2019 yakni penanganan perbatasan, pemantapan peran Indonesia di ASEAN, penguatan diplomasi ekonomi, peningkatan kualitas perlindungan hak dan keselamatan WNI/BHI di luar negeri khususnya perlindungan terhadap TKI dan peran Indonesia dalam kerjasama bilateral, regional dan global (RPJMN 2014-2019).
Kini Jokowi telah lebih tiga tahun sebagai Presiden. Berhasilkah Jokowi mencapai sasaran dan agenda itu?
Satu parameter kinerja Jokowi urus PLN adalah penanganan masalah perbatasan Indonesia dengan 10 negara tetangga. Parameter ini jelas menunjukkan Jokowi masih gagal dan berkinerja buruk. Tidak ada satupun tercapai.
Indonesia memiliki perbatasan maritim dengan 10 negara yakni India, Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam, Filipina, Palau, Papua Nugini, Australia, Timor Leste, serta perbatasan darat dengan tiga negara, yaitu Papua Nugini, Malaysia dan Timor Leste.
Di era Presiden SBY telah selesai penetapan batas darat dengan Papua, sementara dengan Timor Leste dan Malaysia hanya sebagian besar.
Parameter berikutnya adalah pemantapan peran Indonesia di ASEAN. Di kancah ASEAN, kinerja Jokowi tergolong buruk. PLN Jokowi masuk ke kancah ASEAN masih urusan ekonomi semata. Tidak masuk urusan politik keamanan.
Padahal di ASEAN sendiri, Indonesia menghadapi tantangan di bidang politik keamanan seperti konflik di Marawi, Rohingya, Laut China Selatan, dan lain-lain. Urusan politik keamanan ini jelas lebih susah untuk cari penyelesaian ketimbang urusan ekonomi.
Selain itu, kini terjadi kevakuman kepemimpinan di ASEAN. Sebabnya, Indonesia sebagai negara dengan kepemimpinan diakui secara alami kurang mampu merepresentasikan ASEAN dalam forum-forum multilateral.
Jokowi tidak menjadikan ASEAN sebagai pijakan utama dalam PLN. Jokowi tidak menempatkan ASEAN sebagai prioritas dalam PLN Indonesia. Indonesia tidak lagi berperan sebagai pemimpin di Asia Tenggara. Lebih memprioritaskan urusan kepentingan investasi, utang dan infrastruktur.
Parameter lanjut yakni penguatan diplomasi ekonomi, difokuskan utk mendukung penghapusan non-tariff barrier dlm perdagangan pasar utama dan pembukaan pasar prospektif, antara lain di kawasan Eropa Timur, Eropa Tengah, Afrika Utara, Afrika Barat, Afrika Selatan, Sub-Sahara Afrika, Amerika Utara, Amerika Latin dan Asia.
Diplomasi ekonomi ini dipraktekkan Jokowi pada KTT APEC di Beijing (2015), KTT ASEAN ke-25 di Myanmar, KTT G20 di Australia, Forum G20 di RRC (2016). Jokowi memanfaatkan forum-forum ini untuk menggalang kerjasama ekonomi, terutama infrastruktur.
Ada tiga tujuan diplomasi ekonomi Jokowi yakni menarik investasi asing, membuka pasar luar negeri dam mendatangkan turis asing. Parameter ini belum tercapai sukses.
Parameter lain yakni peningkatan kualitas perlindungan hak dan keselamatan WNI/BHI di luar negeri. Khusus parameter ini bisa membantu penilaian kesuksesan Jokowi dan baik. Berdasarkan laporan tiga tahun pemerintahan Jokowi-JK, Kemlu (Kementerian Luar Negeri) mencatat telah menyelesaikan 27.341 kasus; membebaskan 144 WNI dari ancaman hukuman mati.
Rezim Jokowi juga melakukan repatriasi 181.942 WNI bermasalah termasuk overstayers; evakuasi 16.426 WNI dari berbagai wilayah konflik, perang dan bencana dan, membebaskan 31 sandera WNI dari Filipina dan Somalia. Juga mengembalikan hak finansial WNI di luar negeri Rp388 miliar melalui pendampingan hukum oleh perwakilan.
Data, fakta dan angka ini diklaim Menlu sebagai capaian tiga tahun PLN Indonesia era Jokowi. Namun, tidak ada data, fakta dan angka maraknya (lebih tiga kali) penculikan WNI di perairan Sabah, Malaysia dan Sulu, Filipina Selatan.
Parameter terakhir yakni peran Indonesia dalam kerjasama bilateral, regional dan global. Dari parameter ini ada kemajuan Jokowi ada partisipasi dalam forum APEC, KTT ASEAN, dan KTT G-20.
Tapi, Jokowi menggunakan forum-forum tersebut untuk menarik investasi asing, membuka pasar luar negeri dan mengundang lebih banyak turis asing ke Tanah Air. Jokowi meminta perwakilan RI di luar negeri ikut memasarkan produk Indonesia.
Terkesan Jokowi selama ini tidak memprioritaskan PLN, lebih menaruh perhatian urusan ekonomi: investasi, utang dan infrastruktur.
Fakta lain, Jokowi lebih utamakan urusan ekonomi di dalam sejumlah perundingan penting, antara lain Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA), Free Trade Agreement (FTA), Preferential Trade Agreement (PTA), Bilateral Investment Treaty (BIT).
Dari politik keamanan, peran Indonesia memudar dalam mewujudkan perdamaian dunia, seperti diamanatkan Pembukaan UUD 1945. Pada alinea I dan alinea IV dijelaskan dasar hukum pelaksanaan PLN Indonesia.
Indonesia sebagai Negara merdeka dan berdaulat berhak menentukan nasib sendiri serta mengatur hubungan kerjasama dengan Negara lain. Pengertian PLN Indonesia terdapat di dalam UU No. 37 Tahun 1999 Pasal 1 ayat (2), yakni kebijakan, sikap dan langkah Presiden Jokowi diambil dalam melakukan hubungan dengan Negara lain, organisasi internasional dan subyek hukum internasional lain dalam rangka menghadapi masalah internasional guna mencapai tujuan nasional.
Berdasarkan konstitusi, Presiden Jokowi harus menerapkan kebijakan luar negeri disebut politik bebas-aktif. Maknanya, Indonesia bebas menentukan sikap berkaitan dengan dunia internasional, tidak memihak kepada salah satu blok.
Aktif, maknanya ikut memberikan sumbangan baik dalam bentuk pemikiran maupun menyelesaikan berbagai konflik dan permasalahan dunia. Aktif menunjukan adanya kewajiban Presiden Jokowi menunaikan amanat UUD 1945 untuk ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Kondisi kinerja Jokowi buruk urus PLN dapat ditunjukkan, kecenderungan menitikberatkan PLN untuk urusan perdagangan dan investasi. Hal akan berisiko pada dimensi keamanan dan politik.
Jokowi harus sangat sadar, suatu negara berpotensi terjebak dalam hubungan asimetris. Karena itu, Jokowi harus berhati-hati agar Indonesia tidak bergantung kepada negara lain karena akan merusak ekonomi strategis.
Jokowi tiga kali berturut-turut absen di Sidang Majelis Umum PBB. Hal ini sungguh buruk mengingat saat ini Indonesia sedang berjuang menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB.
Di sisi lain, fokus Jokowi dalam mengelola hubungan dengan negara-negara besar seperti Cina, AS dan Jepang bisa berpotensi menjadi bumerang bagi keutuhan NKRI.
Jokowi juga sangat kurang memelihara hubungan dengan negara-negara tetangga di Kepulauan Pasifik. Padahal dua tahun terakhir perwakilan negara-negara Pasifik mengangkat issu tentang ketimpangan dan konflik dialami saudara-saudara mereka di Papua yang dapat memicu perpecahan bangsa atau disintegrasi nasional.
Di sisi peran diplomasi politik, ternyata Jokowi sangat lemah. Sebagai aktor individual sangat kurang memainkan peran diplomasi politik. Padahal diplomasi politik ini sangat penting untuk bernegosiasi mewakili kepentingan nasional Indonesia.
Jokowi bukanlah aktor PLN, sehingga lemah untuk mengangkat nama Indonesia di forum-forum internasional. Sementara, peran diplomasi politik lebih banyak diserahkan kepada Menlu, yang tentu saja pengaruhnya lebih rendah.
Oleh Muchtar Effendi Harahap, Ketua Atudi NSEAS