Artikel ini ditulis oleh Salamuddin Daeng, Pengamat Ekonomi Energi.
Pertanyaan terbesar publik saat ini adalah apakah kilang Pertamina yang dibangun besar besaran pada masa pemerintahan Jokowi akan.berguna atau tidak. Kilang telah mencapai kapasitas 1,2 juta barel ini terpaksa akan mengolah minyak impor, karena produksi minyak nasional hanya 600 ribu barel dan produksi BUMN pertamina kurang dari separuhnya produksi nasional. Apakah kilang atau refinery Indonesia lebih hemat dari kilang Singapore. Kalau tidak maka tamat!
Mengapa nasib kilang harus dipertanyakkan? Karena ada kekuatiran publik kilang migas Pertamina akan terbengkalai, under capacity, tidak produktif, dikarenakan selama ini Pertamina hanya fokus mengeluarkan uang untuk membangun kilang, sementara produksi migas nasional jauh dari kemampuan kilang. Bagaimana nanti memasarkan hasil hasil kilang, apakah Kilang Pertamina Indonesia (KPI) bisa bersaing dengan kilang kilang Singapura yang lebih besar dan lebih efisien?
Sementara pembangunan kilang memakan dana yang besar dan itu bersumber dari utang. Sebagaimana diketahui Kilang Pertamina Internasional (KPI) telah merencanakan belanja modal lebih dari USD24 miliar pada tahun 2024-2030 untuk meningkatkan kapasitas pengilangan menjadi 1,4 juta barel setara minyak per hari (mmboed) (2023: 1,05 mmboed) dan kapasitas petrokimia sebesar 4,5x menjadi 7,5 juta ton per tahun (mtpa). Sejauh ini KPI telah membelanjakan modal lebih dari USD12 miliar, dan tidak termasuk Grassroot Tuban (GRR Tuban; proyek USD25 miliar) karena ketidakpastian proyek.
Sekitar 50 persen belanja modal KPI dianggarkan untuk GRR Tuban, yang berencana memproduksi 216,000boed produk bahan bakar dan 4mtpa produk petrokimia. KPI memegang 55 persen saham GRR Tuban dan sisanya dimiliki oleh anak perusahaan Rosneft Oil Company di Singapura. KPI menargetkan keputusan investasi akhir (FID) untuk proyek tersebut pada tahun 2024 dan konstruksi selesai pada tahun 2028.
Dapat dibayangkan sebagian besar belanja modal tersebut dibiayai dengan utang. Karena arus kas KPI tidak akan permah mencukupi. Perusahaan belum mencapai kapasitas yang memguntungkan, sehinga akan mengandalkan pinjaman baru untuk belanja modal yang lebih besar.
Sebagaimana disebutkan dalam laporan lembaga pemeringkat utang, KPI memperoleh utang luar negeri pertamanya sebesar USD3,1 miliar dalam bentuk pinjaman pembiayaan proyek pada tahun 2023, dengan jangka waktu 14 tahun dan amortisasi yang dimulai pada pertengahan tahun. 2025, untuk RDMP Balikpapan.
Saldo kas KPI mencapai USD1,8 miliar pada akhir tahun 2023. Pinjaman pemegang saham sebesar USD3,6 miliar memiliki perpanjangan tahunan otomatis. Jatuh tempo utang luar negeri selama periode belanja modal yang tinggi, yaitu sekitar USD200 juta hingga tahun 2028.
Masalah terutama adalah jika kilang tidak mengolah sesuai kapasitasnya atau berada di bawah kapasitasnya. Sebagaimana diketahui bahwa kebutuhan migas nasional adalah 1,4 juta barel sehari, sementara produksi minyak nasional hanya 600 ribu barel sehari, produksi minyak luar negeri pertamina tidak sesuai target karena banyak investasi gagal alias diduga bodong.
Maka pertanyaan utama bagaimana mengatasi kilang yang tidak produktif namun menyusut setiap tahun. Sebagaimana laporan keuangan Pertamina bahwa beban penyusutan kilang sangat tinggi, ditambah lagi berbagai peristiwa kebakaran dahsyat dialami kilang kilang semuanya dalam lima tahun teralhir. Ditambah lagi cicilan utang, bunga utang terus menyedot menguras keuangan Pertamina. Bagaimana mengatasi semua pertanyaan ini? alamak
[***]