Artikel ini ditulis oleh Salamuddin Daeng, Pengamat Ekonomi Energi.
Pajak karbon sudah pasti akan segera ditetapkan di Indonesia. Apalagi masalah polusi perkotaan telah menjadi sorotan media Internasional, terutama sekali polusi Jakarta. Bekas Ibu Kota negara Republik Indonesia ini telah dikatakan sebagai kota terpolusi di dunia. Sebanyak 40 persen polusi dikontribusikan sektor transportasi.
Pajak karbon telah dipandang sebagai solusi untuk membuat mahal mobil atau kendaraan BBM beserta seluruh aspek yang terkait dengan produk tersebut baik bahan bakarnya, industrinya, jasa pendukungnya, hingga keuangannya, semua akan dipajaki.
Rezim pajak ini bukan untuk mencari uang. Karena karbon adalah kewajiban, maka menyelesaikannya akan memberi peluang mendapatkan uang dari banyak sisi, terutama kemudahan pembiayaan dimasa depan. Namun bisa saja Indonesia menjadikan pajak karbon dalam memgatasi defisit APBN, tapi itu adalah langkah yang bodoh, karena bukan itu maksudnya.
Singapura baru baru ini mengumumkan akan menaikkan pajak emisi karbonnya dari S$5 ($3,69) per ton saat ini menjadi S$25 pada tahun 2024-2025, S$45 pada tahun 2026-2027, dan S$50-S$80 pada tahun 2030, yang menurut para analis dapat menambah jutaan dolar terhadap biaya penyulingan.
Ini berarti akan membuat banyak industri terutama kilang kilang minyak dan petrochemical di Singapore akan memburu portofolio NZE agar tetap bertahan. Atau kilang kilang itu dijual. Namun bisa saja semua beban pajak karbon akan dibebankan kepada palanggan mereka yakni konsumen Indonesia, sebagai tujuan ekspor BBM paling utama bagi Singapore.
Bagaimana dengan kilang Indonesia, ini lebih gawat lagi. Tidak mungkin dapat menghindar dari pajak karbon. Masalahnya kilang dibangun dengan investasi sangat mahal, utang, bunga, pajak, membuat kilang tidak kompetitif untuk bersaing di ASEAN apalagi di ASIA. Jadi produk kilang Indonesia yang mahal akibat berbagai kebijakan di dalam negeri mau dijual kemana?
Dikarenakan Indonsia pada sektor energi harus mengambil langkah sama sebagai komitmen atas kerjasasama ekonomi ASEAN yang diikat dengan konstitusi ASEAN Charter, maka kebijakan pajak karbon sudah pasti akan sama dengan negara ASEAN lainnya. Padahal kilang mungkin akan menyelesaikan RDMP 2025 nanti. Sementara kilang Tuban mungkin akan mangkrak total.
Dikarenakan manajemen kilang tinggal diam dan tidak melakukan langkah apapun mengejar portofolio NZE, maka sepenunya karbon akan menjadi beban, liability yang tidak akan bisa diatasi. Padahal Indonesia adalah climate change super power. Harusnya ini menguntungkan Indonesia.
[***]