KedaiPena.Com – Pemerintah harus ekstra kerja keras untuk melaksanakan recovery serta meningkatkan kinerja pengembangan dan pembangunan kilang BBM nasional pasca terbakarnya Kilang Minyak milik, Pertamina di Balongan, Indramayu.
Hal tersebut lantaran kebakaran yang melanda Kilang RU (refinery unit) VI Balongan, Indramayu, diprediksi akan berdampak pada jumlah produksi BBM Nasional.
Demikian hal tersebut disampaikan Anggota Komisi VII DPR RI, Mulyanto, saat menanggapi insiden kebakaran kilang minyak Pertamina di Balongan, Indramayu.
“Hampir 25 tahun sejak pengoperasian RU VII Kasim di Papua pada tahun 1997, dengan kapasitas 10 ribu barel per hari (bph), maka praktis tidak ada lagi pembangunan kilang minyak baru,” ucap Mulyanto.
Mulyanto menuturkan, saat ini dari total 6 buah kilang yang ada pertamina mampu menghasilkan BBM sebanyak 850-950 ribu bph.
Dimana, kata dia, kontribusi RU VI Balongan sebesar 16% dari total produksi kilang atau 125 ribu BPH yang kemudian ditingkatkan menjadi 150 ribu bph.
“Kita belum tahu apakah pasca musibah ini, RU VI Balongan dapat mempertahankan tingkat produksinya. Bila tidak maka kita akan kehilangan produksi bbm sejumlah 16% tersebut. Kita berdoa, agar hal ini tidak terjadi,” tambahnya.
Mulyanto menyampaikan, dengan terbakarnya kilang minyak Balongan, maka rencana Pertamina untuk mengelolah swasembada BBM di tahun 2023 sulit untuk terealisasikan.
Pertamina sendiri sebelumnya berkeinginan untuk menambah dua kilang baru, yakni Kilang Tuban dan Kilang Bontang dengan target mengelola minyak sebesar 2.2 juta bph.
“Namun rencana ini serasa menjadi mimpi. Kilang Tuban terus molor pembangunannya, Kilang Bontang dibatalkan karena kekurangan lahan, dan terakhir terjadi musibah kebakaran di Kilang Balongan,” katanya.
Tidak hanya itu, Mulyanto memperkirakan akan terus terjadi peningkatan impor BBM akibat sedikitnya jumlah dan kapasitas kilang kita.
Mulyanto memandang, hal ini juga akan berdampak pada defisit transaksi berjalan dari sektor migas akan melonjak.
“Dengan kebutuhan BBM hari ini yang sebesar 1.6 juta barel, maka praktis kekurangannya sebesar 800 ribu bph dipenuhi dari impor,” jelas Mulyanto.
Mulyanto menuturkan dari data BPS menunjukkan, BBM olahan mendominasi defisit transaksi migas nasional sebesar USD 12 milyar di tahun 2019. Di lain sisi, pada tahun 2050 Kementerian ESDM memperkirakan kebutuhan BBM nasional mencapai 4 juta bph.
Sehingga dapat dipahami jika impor BBM dan defisit transaksi berjalan dari sektor migas ini akan meroket dan membahayakan ketahanan energi nasional.
“Karena itu Pemerintah harus serius menangani pengembangan dan pembangunan kilang baru BBM ini. Semakin hari, soal ini semakin kritis. Pemerintah tidak boleh menunda-nunda dan kalah dari mafia impor minyak,” pungkasnya.
Laporan: Muhammad Lutfi