KedaiPena.Com – Sejarah kurban diriwayatkan dari Nabi Adam AS. Namun, tata cara dan media pengurbanan tidaklah sama seperti yang kita kenal saat ini.
Demikian khutbah Sholat Idul Adha yang disampaikan Ustaz Muhammad Hasan Sobari Lc yang digelar di Perumahan Griya Mellina, Rawakalong, Bogor, Jumat (1/9).
Anak Adam AS Habil yang seorang peternak kambing, berkurban dengan kambing Qibas. Dan Qabil yang adalah tukang bercocok tanam, berkurban dengan hasil bumi.
Di masa itu, kurban diletakkan di gunung, dan jika ada api yang menyambar, tanda kurban diterima.
Kemudian di masa Nabi Idris AS, berkurban dilakukan dengan tanaman, wewangian, bunga mawar, buah, gandum dan lainnya.
Zaman Nabi Musa AS, hewan ternak dipilih sebagai media pengurbanan. Saat itu, hewan kurban ada yang disembelih, dan sebagian dilepas ke alam liar dengan tanda.
Di era Nabi Ilyas AS dan Ilyasa AS, kurban berbentuk binatang. Dan pengurbanan disempurnakan saat Nabi Ibrahim AS dan Ismail AS.
Kenapa demikian, karena Nabi Ibrahim merupakan satu di antara Ulul Azmi. Di antara para rasul-rasul Ulul Azmi lainnya adalah Nabi Nuh, Nabi Musa, Nabi Isa dan Nabi Muhammad.
“Keistimewaan Nabi Ibrahim juga bisa dilihat ketika sholat, kita kirimkan sholawat kepada Nabi Ibrahim beserta keluarganya. Dan kisah luar biasanya, perlu kita teladani,” jelas dia.
Ibrahim sendiri dilahirkan saat Raja Namrud berkuasa. Saat itu, ada perintah memusnahkan setiap anak laki-laki yang diramal akan menghancurkan kekuasaan Raja Namrud. Raja itu kemudian memerintahkan agar siapapun bayi laki-laki yang lahir untuk dibunuh.
Akhirnya orang tua Nabi Ibrahim berinisiatif mengungsikan sang anak yang masih dalam kandungan jauh ke sebuah gua. Sang Nabi pun lahir di sebuah gua. Lalu Ibrahim ditinggalkan di gua karena ketakutan orang tua.
“Nabi Ibrahim kemudian diasuh Malsikat Jibril, yang lalu diberi mukjizat menyedot ibu jari dan keluarlah asi. Ketika ayah ibunya datang menengok dan bertanya siapa yang merawat, Ibrahim lalu menjawab, yang merawatnya adalah zat yang maha pengasih dan penyayang,” sambung Ustaz.
Jadi, sejak kecil Ibrahim mengenal Tuhannya. Dan ketika ia melihat matahari serta bulan yang tenggelam, ia dengan lantang menjawab itu bukan Tuhannya.
Keistimewaan Nabi Ibrahim yang lain adalah, ia adalah bapak para nabi. Dari kedua istrinya, Siti Sarah dan Siti Hajar, ia melahirkan banyak nabi. Ibrahim pun mendapat predikat kekasih Allah SWT.
Betapa cintanya pada Allah, jangankan harta benda, kalau ia punya anak dan Allah SWT memberikan perintah mengurbankan anak, ia akan lakukan.
Meski demikian, Nabi Ibrahim tidak diberikan keturunan hingga hari tua. Dan jelang usia 70 tahun, ia pun berdoa untuk diberikan anak, dan doa itu dijawab. Singkat cerita Ibrahim dan Siti Hajar diberikan anak bernama Ismail.
Waktu berjalan, Ibrahim kemudian bermimpi, soal nazar untuk mengurbankan anaknya. Ia sempat ragu, apakah mimpi ini dari setan atau Allah. Lalu ia berjalan pada pagi harinya.
Ia pun berpuasa tarwiyah, lalu berjalan dan bermalam di Arafah. Ia bermimpi lagi, yang sama dengan sebelumnya. Benar, mimpi menyembelih anak datang dari Allah SWT.
Ia bertanya ke anaknya, soal mimpi tersebut. Nabi Ismail lalu menjawab, laksanakan yang diperintahkan Allah SWT, meski sebenarnya ia ingin anaknya menolak.
Ibrahim lantas membawa tali dan pisau. Lalu ia minta istrinya pakaikan Ismail baju yang bagus. Kemudian ia membawa Ismail ke padang luas dan membaringkannya.
Sebelum penyembelihan, Ismail buat permintaan, untuk menajamkan pisau dan jangan sampai bajunya dan ayahnya terkena cipratan darah. Dan kalau bisa, ketika sampai di rumah setelah penyembelihan, ada anak, usir. Sebab itu bisa mengingatkan Ibrahim pada anaknya.
Tibalah pada saat menegangkan. Apa yang terjadi, pisau tersebut tidak bisa menyembelih Ismail. Lalu Ismail minta agar dilepaskan tali yang mengikat pada tangan.
Di percobaan kedua, pisau tetap tidak bisa memotong leher Ismail. Ia pun meminta mukanya ditutup.
Pada hari itu Malaikat Jibril sibuk betul, hingga pada gilirannya Allah SWT memberi perintah mengganti Ismsil dengan hewan kurban dari surga.
Laporan: Muhammad Hafidh